Cerita silat pernah menjadi salah satu bentuk literatur fiksi populer yang amat digandrungi di era awal kemerdekaan Indonesia. Masyarakat Indonesia angkatan lama pasti mengenal nama SH Mintardja (1993-1999) dan Kho Ping Hoo (1926-1994), dua pengarang cerita silat paling terkenal di masa itu. SH Mintardja terkenal dengan karya cerita silatnya Nagasasra Sabuk Inten (selanjutnya di artikel ini disingkat dengan NSSI). Sementara Kho Ping Hoo alias Asmaraman Sukowati, putra Sragen yang juga keturunan Cina, mengarang cerita Kungfu Bu Kek Sian Su (BKSS). Dengan keahliannya menulis, Kho Ping Hoo berhasil membuat cerita silat yang bisa dibilang sama persis dengan cerita Kungfu asal Cina.
Keunikan perjalanan cerita silat ini dan bagaimana ia menjadi bacaan favorit di era 1950-1960-an diulas dalam acara Monash Indonesia Seminar Series (MISS) bertajuk “The Memetics of Cerita Silat”, Kamis 11 April lalu. Adalah Prof. Edward Buckingham, professor di bidang manajemen yang menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh Monash University Library berkolaborasi dengan Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre. Meski berkecimpung di bidang yang jauh dengan sastra dan literatur, Prof. Edward Buckingham memiliki minat dan kecintaan pada cerita silat karena dikenalkan oleh kawannya ketika belajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Gadjah Mada, beberapa tahun lalu. Saat kuliah di UGM (melalui sebuah program pertukaran mahasiswa) itulah, Edward berkenalan dan langsung jatuh cinta pada cerita silat. Bukan hanya membaca dan menikmati kisahnya, namun hingga meneliti tentang perjalanan cerita silat di Indonesia.
Dalam paparannya, Edward menjelaskan bahwa cerita silat adalah produk migrasi literasi yang berkembang dari berbagai sumber seperti mitos lokal, cerita hero fantasi Cina, dan legenda India. Akarnya adalah tradisi kuno tentang mitos-mitos kepahlawanan dan legenda-legenda asli Indonesia. Lalu, tradisi literasi berkembang seiring dengan perkenalan bangsa Melayu dengan budaya India, Timur Tengah, dan Barat. Pengaruh luar yang tak kalah besar adalah cerita Kungfu Cina yang masuk ke Indonesia dalam bentuk terjemahan.
Para penulis seperti SH Mintardja dan Kho Ping Hoo memilih gagasan-gagasan yang bersumber dari kearifan lokal dan berbagai hikayat dari luar negeri tersebut, kemudian membuat replikanya dalam bentuk cerita silat yang kemudian kita kenal di Indonesia. Secara teoretis, ujar Edward, rangkaian aktivitas “memilih” (selection) dan “mereplikasi” (replication) tersebut sesuai dengan konsep meme – yang secara harfiah berarti “yang ditiru”. Mengutip Susan Blakcmore (1999), Edward menjelaskan bahwa aktivitas memetic yang mencakup selection dan replication terjadi ketika suatu gagasan dianggap disukai banyak orang (fidelity), berpotensi untuk berkembang (fecundity), dan dapat berumur panjang (longevity). Pada perjalanan dan penyebaran cerita silat di Indonesia, ketiga kriteria tersebut diperkaya dengan nilai-nilai dan konteks lokal yang relevan dengan situasi saat itu.
SH Mintardja, misalnya, meminjam konsep Mahabharata dalam NSSI. Hanya saja, ia memasukkan nilai dan kultur lokal Jawa yang kental dalam ceritanya. Secara pribadi ia ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal Indonesia adalah materi penting yang layak diangkat ke dalam cerita silat. Kisah NSSI ingin merepresentasikan sosok ideal pria Indonesia – yang disebut dengan ksatria – berdasarkan pemahaman masyarakat Jawa. Sementara itu, Kho Ping Hoo menulis cerita Kungfu bergaya Cina. Alih-alih menerjemahkan, ia menulis kisah Kungfu orisinil yang mengambil latar di Cina, lengkap dengan penokohan dan jalan cerita yang sangat Cina. Serial BKSS adalah pengejawantahan rasa frustrasinya sebagai bagian dari kelompok minoritas sekaligus definisi mengenai identitas nasional. Cerita-cerita yang ia tulis banyak mengarahkan pada ajaran untuk mencintai sesama dan tidak menjadi orang yang rasis.
Selain membahas perjalanan dan makna cerita silat bagi literatur Indonesia, acara yang dihadiri sekitar 50 orang itu juga memamerkan sejumlah koleksi buku cerita silat koleksi Monash University Library.
Teks dan foto: Pratiwi Utami