Bahasa Indonesia adalah identitas yang melekat pada orang Indonesia. Identitas ini menjembatani keragaman budaya, suku, agama dan berbagai perbedaan lainnya ke dalam persatuan yang harmonis. Australia sebagai negara tetangga Indonesia, ternyata telah lama mendapat pengaruh akan pengenalan bahasa Indonesia. Hingga kini masih cukup banyak sekolah di Australia yang mengajarkan atau menawarkan pelajaran Bahasa Indonesia sebagai bagian dari kurikulumnya.
Tak hanya sekolah, ada juga lembaga-lembaga nonprofit semisal “Aksara Indo” (AKu biSA bicaRA bahasa INDOnesia) yang dirintis oleh Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) pada tahun 2013 dengan membuka kelas belajar Bahasa Indonesia bagi jemaat gereja dan terbuka untuk umum terutama bagi anak-anak Indonesia usia sekolah yang besar di Australia.
Gerard, seorang warga Australia dan murid Kelas Dasar Aksara Indo, memberikan sharing akan pengalamannya belajar bahasa Indonesia. Ia bergabung dalam kelas Aksara Indo pada awal tahun 2018. Gerard memiliki beberapa alasan penting untuk aktif ikut kelas bahasa Indonesia. Pertama istrinya adalah orang Indonesia. Ia sangat ingin dapat berkomunikasi dengan keluarga istrinya maupun orang Indonesia yang dikenalnya. Kedua, Gerard sangat ingin bisa berbicara dalam bahasa lain selain bahasa Inggris. Baginya orang-orang yang memiliki kemampuan multilingual adalah sesuatu yang luar biasa. Ketiga, Gerard menyadari bahwa bahasa Indonesia adalah bagian dari warisan berharga keluarganya dan dia tidak ingin warisan ini hilang dari keluarganya. Kelak, Gerard ingin anak-anaknya dapat mengerti bahasa Indonesia, bergaul dengan orang Indonesia dan memudahkan anaknya bila suatu saat tinggal di Indonesia.
Di kelas dasar Aksara Indo, Gerard telah belajar banyak hal baru, misalnya belajar berhitung dari satu sampai seratus, mengenal pembagian waktu, nama-nama hari dan bulan, macam-macam warna, anggota keluarga, bagian tubuh, arah mata angin, nama buah dan sayuran, serta alat transportasi di Indonesia. Menurutnya, guru-guru Aksara mengajar dengan cara yang sistematis, dan interaktif. Mereka memberikan, latihan-latihan misalnya mengasosiasikan gambar dan kata, mengisi kotak jawaban, persamaan kata, dan melalui permainan-permainan. Selain itu, murid-murid juga sudah mulai belajar membaca dan penekanan intonasi suara (aksen) yang bahannya diambil dari buku teks.
Selama satu tahun ini, Gerard merasa perlu untuk lebih intens lagi belajar bahasa Indonesia. Ia merasa haus untuk terus meningkatkan ketrampilannya terutama dalam menyusun kalimat. Gerard ingin dapat mengetahui dan membedakan obyek, subyek dan predikat dalam bahasa Indonesia, supaya ia tidak lagi melakukan kesalahan memalukan dengan misalnya menyebut, “Saya Ayam“, yang seharusnya, “Ayam Saya”. Oleh karena itu, Gerard sudah sangat menanti-nantikan kelas kembali dibuka pada term Februari ini.
“Terima kasih sudah mendengarkan!” ujar Gerard menutup sharingnya.
(*Disampaikan oleh Gerard Whitty pada Kebaktian Minggu GRII Melbourne, 20 Januari 2019. Diliput dan diterjemahkan oleh Rio S. Migang)