Tanggal 26 Januari merupakan tonggak penting sepanjang sejarah negara Australia. Pada tanggal tersebut di tahun 1788, Kapten Arthur Phillip, komandan Armada Pertama dari sebelas kapal dari Inggris Raya, tiba di Sydney Cove. Kapten Phillip yang juga merupakan Gubernur New South Wales pertama ini mengangkat Union Jack, bendera kebangsaan Inggris Raya, sebagai sinyal awal dimulainya koloni Inggris di tanah Australia. Dalam perkembangan sejarah, tanggal 26 Januari menjadi problematik karena merepresentasikan luka dan kesedihan bagi suku asli (indigenous people) Aborigin dan Torres Strait Island.
Terlepas dari perdebatan yang terjadi di seputar tanggal 26 Januari (yang kemudian disebut dengan Australia Day), perayaan atasnya berlangsung meriah dari tahun ke tahun. Australia Day kini menjadi hari ketika semua orang merayakan keanekaragaman yang dimiliki Australia. Di Melbourne, puluhan komunitas mengikuti parade yang diselenggarakan di pusat kota. Parade dan rangkaian kegiatan Australia Day ini disaksikan dan diikuti oleh ribuan warga Melbourne dan sekitarnya.
Bagi Satwiko Adhiwidyo, mahasiswa Master of Business Information System Monash University, perayaan Australia Day adalah caranya untuk memperkenalkan anak-anaknya pada kultur negara lain. “Saya mau kasih pengalaman yang menarik buat mereka,” ujar bapak dua anak yang akrab disapa Wiko ini.
Titus Angga Restuaji, warga Yogyakarta yang kini tengah menuntut ilmu di program Master of Education Monash University, juga tertarik pada Australia Day. “Saya ingin mengetahui bagaimana masyarakat Australia memaknai 26 Januari terlepas isu kontroversial yang menyertai peringatan tersebut, termasuk perdebatan mengenai indigenous people,” jelasnya.
Sementara itu, Yuni Idiyawati, ibu dari dua putra asal Malang, rutin menonton Australia Day setiap tahunnya. Tahun 2019 adalah kali ketiganya hadir pada parade dan festival Australia Day. Yuni dan keluarganya kagum pada kostum-kostum peserta parade yang dibuat dan dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, acara dilaksanakan tepat waktu dan tidak terlalu lama, dengan penonton yang tertib sekali. Yuni juga selalu menunggu giliran komunitas Indonesia tampil dalam parade sambal menebak-nebak tahun ini akan pakai kostum daerah mana. “Tapi, untuk tahun ini acara festivalnya kurang meriah, ada banyak stand yang tahun-tahun sebelumnya ada, tapi tahun ini tidak berpartisipasi,” ujar Yuni yang saat ini tinggal di daerah Clayton.
Gagasan merayakan dan memperjuangkan keberagaman saat Australia Day bisa dibilang mirip dengan semangat “Tujuhbelasan” di Indonesia. Meski demikian, Australia Day tidak bisa dibilang sebagai Hari Kemerdekaan, sebagaimana kita merayakan tanggal 17 Agustus setiap tahun. Dari segi pelaksanaan acara, baik Wiko, Titus, maupun Yuni melihat beberapa perbedaan. Menurut Wiko, pawai Australia day menonjolkan keragaman budaya antarnegara, sedangkan 17 Agustus di Indonesia menampilkan keragaman budaya antardaerah, “dan biasanya dirayakan hingga tingkat terkecil di masyarakat,” tambah Titus. Selain itu, tanggal 17 Agustus di Indonesia biasanya diwarnai dengan lomba-lomba kemasyarakatan, sedangkan di Australia Day tidak ada pertandingan semacam itu.
Sementara bagi Yuni, parade Australia Day tak hanya menampilkan perwakilan budaya dan bangsa namun juga komunitas lain di masyarakat, misalnya tentara, polisi, pemadam kebakaran, paramedik, dan instansi-instansi pemerintah yang lain.
Teks: Pratiwi Utami
Foto: dok. Pribadi narasumber