Sang Juara: When you win some, you lose some

Lalu Muhammad Zohri meraih medali emas dalam lomba lari 100 meter putra di kelas U-20 di Tampere, Finlandia, Juli lalu. Tidak mengherankan kalau kemudian begitu banyak orang di Indonesia yang bersorak-sorai penuh kegembiraan dan kebanggaan. Pujian pun mengalir, sampai-sampai pucuk pimpinan negara ikut mengungkapkan rasa terima kasih dan syukur dalam bentuk pemberian hadiah menarik: pemugaran tempat tinggal sang juara. Prestasi Lalu Muhammad Zohra memang masih dalam kategori junior – belum sekelas dengan Usain Bolt – namun capaiannya itu memang laksana hujan mengguyur di tengah kemarau panjang.

Akan tetapi, tetap ada saja yang masih merasa kurang puas. Bukan dengan prestasi Zohri, melainkan pada kurangnya perhatian banyak orang terhadap atlet-atlet Indonesia lainnya – di samping bulu tangkis. Menurut mereka, atlet-atlet yang juga pernah dan sempat mengukir prestasi di medan laga mancanegara, seperti karate, hingga kini masih kurang mendapat perhatian.

Patut dicatat di sini bahwa kompetisi lari 100 meter putra memang adalah cabang primadona. Melalui cabang ini seseorang yang memenangkannya berhak disebut sebagai manusia tercepat di dunia, sementara pemenang nomor ini dalam Asian Games, yang bulan ini diselenggarakan di Jakarta, dijuluki manusia terkencang di Asia.

Indonesia pernah memiliki seorang manusia tercepat di Asia, namanya Mohamad Sarengat. Dalam Asian Games 1962 di Jakarta, ia merajai nomor ini. Penulis beruntung sempat berkenalan dengan sang juara Asian Games ini, yang setelah meraih gelar dokter, kemudian ikut berperan dalam pembinaan olahraga di Indonesia.

Harus diakui, jarang-jarang atlet Indonesia mencatat prestasi di ajang internasional – kecuali bulu tangkis, cabang olahraga yang pertama mempersembahkan medali emas Olimpiade kepada Nusa dan Bangsa (Olimpade Barcelona, Spanyol 1992). Bagi Indonesia, peristiwa bersejarah pertama yang terjadi di gelanggang Olimpiade adalah ketika para pemanah putri Indonesia meraih medali perak dalam Olimpiade Seoul, Korea Selatan, tahun 1988. Mereka mengalahkan regu Amerika dalam adu pemanahan setelah kedua tim meraih angka yang sama dalam pemanahan-pemanahan sebelumnya. Medali emas sendiri jatuh ke tangan tuan rumah.

Kenyataan bahwa hanya ada dua wartawan olahraga berkebangsaan Indonesia yang menjadi saksi hidup dari peristiwa bersejarah itu mencerminkan bahwa pada hakikatnya tidak banyak kalangan media Indonesia yang yakin bahwa atlet Indonesia punya peluang atau kemampuan untuk meraih medali Olimpiade.

Penulis yang waktu itu bertugas di Radio Australia dikirim untuk meliput Olimpiade Seoul dan berhasil membujuk pemimpin redaksi mingguan “Bola” Sumohadi Marsis untuk meliput pertandingan final panahan di luar kota Seoul itu. Penulislah yang pertama menyampaikan peristiwa bersejarah itu kepada para pendengar Radio Australia di Indonesia, melalui laporan langsung.

Sebenarnya, sejarah Olimpiade bagi Indonesia sudah dapat tercatat dalam Olimpiade sebelumnya tahun 1984 di Los Angeles, Amerika Serikat. Waktu itu, Olimpiade 1984 di Los Angeles diboikot oleh Uni Soviet dan sekutu-sekutunya, sebagai bentuk balas dendam terhadap pemboikotan oleh Amerika terhadap Olimpiade Moskow 1980. Kala itu Amerika dan sekutu-sekutunya tidak berkenan terhadap Uni Soviet yang dituding “menyerbu” Afghanistan di penghujung tahun 1979.

Alhasil, dengan tidak ikutnya Uni Soviet serta sekutu-sekutunya dalam Olimpiade Los Angeles itu, maka harapan pengangkat besi Indonesia Maman Suryaman (kelas terbang) menjadi sangat menjanjikan, sebab sebelumnya negara-negara Blok Timur (komunis) memang sangat andalan dalam angkat besi. Pertandingan itu diselenggarakan di gelanggang sebuah perguruan tinggi di Los Angelss, dan penulis meliputnya untuk Radio Australia dengan harapan dapat menjadi saksi hidup dari sebuah peristiwa bersejarah bagi Indonesia dalam Olimpiade. Maman Suryaman sendiri mengungkapkan bahwa ia sangat yakin akan meraih minimal medali perunggu.

Begitulah, dengan perasaan berdebar, penulis siap dengan alat perekam untuk mengabadikan peristiwa tersebut. Namun apa hendak dikata, Maman terlambat naik ke panggung untuk melakukan angkatan terakhirnya. Maman kehabisan waktu dan idamannya pun turut pupus. Bak kata orang kita “Putus tali tempat bergantung, terbang tanah tempat berpijak.”

Maman meminta agar penulis merekam permintaan maafnya kepada rakyat Indonesia karena kegagalannya melakukan angkatan yang menentukan itu. Maman tidak bersedia menyampaikan sebab musabab keterlambatannya untuk naik ke panggung itu. Padahal Maman sudah sering ikut dalam berbagai pertandingan internasional, termasuk yang diselenggarakan di Melbourne.

Belakangan penulis mendengar bahwa ketika akan naik ke panggung untuk melakukan angkatan terakhirnya itu, Maman dihampiri seorang pejabat tinggi negara yang bersikeras hendak melakukan “penataran kilat” P-4 guna membekali Olimpiawan Indonesia tersebut dalam upayanya untuk mengharumkan nama Nusa dan Bangsa. Padahal waktu antara pengumuman nama pengangkat, jumlah angkatan, dan keharusan melakukan angkatan, sangat terbatas. Apa boleh buat Maman akhirnya “ketinggalan” dan dinyatakan gagal melakukan angkatan. Pupuslah harapan dan cita-cita Maman untuk menjadi Olimpiawan Indonesia yang pertama yang berhasil merebut medali Olimpiade.

Ternyata pejabat tinggi negara itu jugalah yang menjadi “biang” gagalnya beberapa petinju Indonesia meraih kemenangan dalam Asian Games New Delhi (India) 1982. Waktu itu beredar desas-desus bahwa sang pejabat bersikeras hendak melakukan penataran kilat sebelum para petinju naik ke gelanggang untuk bertarung. Sejatinya, olahragawan harus melakukan pemanasan sebelum bertanding atau bertarung demi menghindari kekejangan. Tapi kalau setelah melakukan pemanasan kemudian harus mengikuti penataran kilat berarti tubuh mulai menyejuk hingga tidak kondusif untuk melakukan peforma secara maksimal.

Memang dalam kurun waktu sejak 1978 hingga era 1980-an itu pemerintah Orde Baru sedang giat-giatnya melakukan penataran P-4 dalam upaya menciptakan manusia-manusia Indonesa yang Pancasilais. Presiden Suharto pernah menyampaikan keprihatinannya bahwa Pancasila baru dimiliki tapi belum dihayati. Karenanya perlu penataran.

Sementara itu, bagi Australia, ketidakhadiran para pengangkat besi negara-negara Komunis dalam Oimpiade Los Angeles itu laksana durian runtuh. Kala itu, pengangkat besi kelas berat super, seorang nelayan asal Australia Selatan bernama Dean Lukin, berhasil meraih medali emas.

Bgitulah “You win some, you lose some.” Wallahua’lam.

 

Penulis:

 

 

Nuim Khaiyat