Fasih Berbahasa dan Dapat Berkomunikasi

Kita sering merasa bahwa kalau kita sudah bisa berkomunikasi sehari-hari dengan orang-orang dari latar belakang budaya berbeda yang menggunakan bahasa lain, kita sudah menguasai bahasa mereka. Lebih tepatnya, kita bisa hidup dalam lingkungan bahasa itu, sampai batas-batas tertentu. Sebab, bukan saja bahasa mengandung berbagai lapisan, tapi ia juga terus berkembang.

 

Bahasa Indonesia kita, dalam waktu relatif singkat belakangan ini, telah mengalami perkembangan pesat. Salah satu aspeknya yang ingin saya sorot di sini ialah gaya presentasi, penampilan, dan artikulasinya. Ini erat kaitannya dengan berkembangnya cyber media. Untuk tujuan bahasan dalam kolom ini, karena lahan yang terbatas, mari kita sorot Facebook, dan kita bandingkan dengan media cetak konvensional.

 

Dalam media cetak seperti koran dan majalah, terutama yang kita golongkan “bermutu”, ada konvensi yang cukup ketat. Selain tatabahasa harus dipatuhi, gaya dan penyampaiannya juga harus santun. Sebagai contoh, kita boleh saja memberikan kritik, mengomentari, dan mengecam sebuah kebijakan atau langkah yang diambil pemerintah atau pihak lain, tapi tidak dengan menyumpah-nyumpah.

 

Dalam era Facebook, meskipun konon masih ada konvensi, namun sudah banyak kelonggaran. Kalau boleh kita mengambil contoh yang saya karang sendiri tapi berdasarkan sesuatu yang nyata, misalnya ada penulis memberikan komentar di sebuah media cetak, ia mengkritik sebuah kebijakan pemerintah, katakanlah tentang larangan perempuan memakai celana pendek di taman-taman di tengah kota. Kira-kira salah satunya bunyinya begini:

 

‘… Selain celana pendek praktis untuk iklim negara kita yang panas dan lembab, asal tidak terlalu pendek, celana pendek yang necis mantap buat pemakainya menyegarkan bagi yang memandangnya. Tidak banyak yang tidak diinginkan bisa terjadi waktu pemakainya berdiri, berjalan maupun duduk…’

 

Kalau melihat sejumlah status Facebook tentang berbagai isu, mungkin dapat dibayangkan status tanggapan tentang kebijakan yang sama di media tersebut adalah begini:

 

‘… Siapa sih pembuat kebijakan itu? Takut sama pikiran kotor sendiri, ya? Kalo ngeliat cewek pake celana pendek aja udah blingsatan, gimana tuh kalo nonton film porno? Kali sering nonton film porno diam-diam ya, tapi takut ketahuan kalo ga bisa nguasain diri melototin cewek pake celana pendek di tempat umum, ya?’

 

Bahkan ada yang lebih kasar lagi.

 

Tentu saja Facebook juga dimukimi para penulis bermutu. Banyak dari mereka yang segan menggunakan kalimat-kalimat vulgar. Ada yang mengutarakan rasa kesal dengan humor dan tikaman halus (eh, ada ya tikaman halus?). Contohnya pada status Facebook berikut ini (nama-namanya sudah saya samarkan)):

 

“Aku sebenarnya kagum dengan Nakula. Tidak melakukan apa-apa, tetapi pendukungnya tetap setia. Hal sebaliknya dialami oleh Arjuna. Melakukan banyak hal, tetapi pendukungnya mudah sekali berpaling ke lain hati. Lambat merespons sedikit saja, pendukungnya minta putus.”

 

Tersisip di dalamnya, rasa kesal sang penulis status pada orang-orang yang mendukung sosok tertentu dan yang suka sekali menyerang seenaknya sosok lawannya. Sementara di lain pihak, sosok yang sering diserang ini meskipun sudah berupaya berbuat baik, sering mendapat pendukung yang dangkal. Tapi si penulis memanfaatkan kreativitasnya dalam melampiaskan kekesalan ini, sehingga meskipun “ngeledek” namun bahasanya tetap santun.

 

Dalam tulisan-tulisan seriuspun, bahasa media cetak konvensional dan bahasa media siber berbeda. Ini karena tulisan yang masuk ke media cetak konvensional, tetap disaring dan diedit; ada halaman-halaman yang khusus untuk jenis-jenis tulisan, tidak selalu bisa dimuat juga. Tulisan ke Facebook bisa masuk kapan saja, dan tidak diedit orang lain. Gaya bahasa personalnyapun lebih tulen, terlepas dari ketidaksempurnaan gramatikanya. Lalu, perkara tulisan itu disukai dan dianggap bermutu atau tidak, bisa langsung ketahuan dari jumlah dan nada komentar-komentar yang masuk.

 

Saya angkat sebuah tulisan yang cukup serius dan cukup kontroversial, dari seorang penulis Facebook, tentang pendapat dan pendiriannya atas adanya berbagai agama, dan saya kutip sedikit dari tulisan itu:

“Sejak kecil entah kenapa saya selalu berpikir… Jika surga itu memang ada, lalu siapa yang berhak memasukinya? … Apakah Islam, Kristen, Hindu, Budha atau ada agama dan kepercayaan lainnya yang saya tidak mengenalinya? Ketika dewasa dan logika saya mulai berjalan dengan baik, saya akhirnya memahami, bahwa konsep keadilan Tuhan menciptakan kondisi yang sama bagi semua manusia ciptaan-Nya untuk memasuki surga-Nya… Karena yang dimaksud “tersesat” itu adalah ketika kita abai pada petunjuk yang diberikan. Kita memegang kompasnya, tapi tidak mengikuti arahnya… Sejak saat itu, saya menghormati mereka yang saya temui dalam perjalanan. Karena saya memahami, bahwa kita semua sama, sama-sama berusaha mencari arah yang benar….”

Dari komentar-komentar yang masuk, jelas tidak semua setuju dengan penulis ini. Tapi menarik untuk disimak, yang tidak setujupun nadanya cukup serius.

 

Nah, kembali pada penguasaan bahasa. Seorang pengguna bahasa yang sudah cukup jeli menangkap nuansa gaya bahasa seperti ini bisa kita percaya sudah benar fasih dalam bahasa itu. Setuju?

 

 

By: Dewi Anggraeni