Wae Rebo, Desa Adat di Balik Awan

Berkunjung ke Wae Rebo sudah menjadi prioritas utama dalam menjelajahi keindahan Indonesia. Atap rumah berbentuk kerucut yang menjadi ciri khas desa ini selalu berhasil membuat jiwa petualang terpanggil untuk segera mendaki bukit dan mencapai Wae Rebo. Perjalanan penulis pun dimulai dari Labuan Bajo dengan mengendarai mobil sewa. Perjalanan menuju lokasi ini memerlukan waktu sekitar enam jam sebelum Anda tiba di Desa Denge dan dapat beristirahat sembari menikmati makan siang khas desa tersebut. Dari Desa Denge, Anda akan diantar ke pangkalan ojek menuju pos 1 sebelum beranjak ke jalur penanjakan menuju Wae Rebo. Setelah 10 menit, Anda akan tiba di pos 1 sebelum kemudian dibantu oleh anggota-anggota pos 1 untuk memindahkan barang-barang bawaan Anda dan beranjak ke Desa Wae Rebo. 

Ada empat pos yang harus dilalui untuk sampai ke Desa Wae Rebo. Berjarak 7 km dari pos pertama, umumnya perjalanan dapat ditempuh dalam waktu 2 jam. Namun, lama perjalanan dapat berkurang atau bertambah tergantung dari kondisi fisik dan kecepatan mendaki Anda. Sekitar 2.5 km pertama, rute ini penuh dengan jalanan menanjak. Sisa perjalanan kemudian cukup landai. Bagian yang paling menarik adalah ketika Anda tiba di pos 4 dan pemandu perjalanan mengajak Anda untuk memukul genderang bambu agar warga desa tahu bahwa turis akan segera memasuki desa. 

Begitu melewati pos 4, Anda akan disuguhi pemandangan penuh takjub bersama dengan keindahan rumah-rumah tradisional yang berjejeran membentuk lingkaran tidak sempurna. Terdapat tujuh rumah adat yang ditempati secara turun-temurun oleh warga lokal. Sayangnya, Anda tidak akan diperbolehkan mengambil foto sebelum bertemu dengan kepala suku di desa ini. Tidak lama kemudian, Anda pun akan segera diarahkan menuju ke rumah utama yang ditempati oleh sang kepala suku. 

Setelah melaporkan kedatangan Anda, berikutnya Anda akan diarahkan ke rumah khusus tamu. Pada awalnya, penulis juga cukup kaget karena melihat turis-turis tidur berjejeran di tepi dinding rumah sembari membentuk sebuah lingkaran besar. Tidak ada hijab ataupun pembeda antara lelaki dan perempuan. Semua orang memiliki kasur dan selimut sendiri, dan meskipun semua orang tidur di satu ruangan besar bak aula, mereka seolah memiliki lapak masing-masing. Ketika Anda beranjak ke ruang khusus tamu Anda tentu sudah merasa lelah. Anda tidak perlu khawatir akan adanya hal-hal tidak senonoh yang mungkin terjadi karena hal tersebut turut dilarang keras oleh warga-warga desa. 

Terdapat dua unit rumah untuk tamu. Satu rumah tamu merupakan bangunan asli rumah warga yang direnovasi menjadi rumah tamu, sehingga sekat antar kepala kelurga yang biasanya ada di tiap rumah pun dihilangkan. Tidak jarang jumlah turis yang datang mencapai 100 hingga 200 orang per harinya. Turis ini juga dapat berupa turis mancanegara. Alhasil, warga sekitar membuat satu rumah baru yang mirip tetapi berbeda dari rumah adat yang sudah ada. Konon, ketika warga sempat ingin menambah jumlah rumah adat di Wae Rebo, kebakaran besar pun kemudian terjadi yang membuat rumah adat hancur lebur. Oleh karena itu, rumah tamu kedua dibuat sedikit berbeda dari rumah adat pertama dan ditempatkan sedikit di belakang rumah lainnya. Masyarakat setempat meyakini bahwa mereka tidak diizinkan oleh semesta untuk menambah jumlah rumah adat disana sehingga apabila ada warga setempat yang jumlah keluarganya melebihi kapasitas rumah yang tersedia, maka warga akan membuat rumah-rumah lain di sekitar desa yang bentuknya tidak menyerupai rumah adat Wae Rebo. Sungguh merupakan suatu kisah yang menarik dari desa penuh misteri ini.

Penulis pun kemudian mendatangi salah satu tetua desa untuk menanyakan perihal fasilitas kesehatan dan pendidikan warganya. Ternyata desa ini hanya memeliki seorang ahli kesehatan yang juga merupakan warga asli setempat. Dengan keterbatasan ini, apabila ada ibu yang sedang hamil, ibu tersebut harus dilokasikan ke Desa Denge paling tidak sebulan sebelum kelahiran sang bayi. Bahkan anak-anak yang bersekolah pun harus sekolah di luar desa Wae Rebo. Oleh karena itu, umumnya warga disini memiliki dua rumah, satu ruangan di rumah adat, dan satu lagi rumah di Desa Denge dimana anak-anak bersekolah dan ibu-ibu melahirkan.

Penulis pun tidak kalah takjub ketika mengetahui bahwa desa ini memiliki sebuah perpustakaan di salah satu bukitnya. Rombongan tur penulis pun direkomendasikan menuju perpustakaan untuk mendapatkan gambaran desa yang lebih penuh. Lokasi perpustakaan yang strategis turut menjadikannya tempat yang cocok untuk menikmati terbit dan terbenamnya matahari di permulaan dan akhir hari. 

Perjalanan kali ini sungguh membuka cakrawala penulis akan damainya hidup di pedesaan dan bagaimana kedatangan turis ke desa ini juga membantu perekonomian warga. Bagi Anda yang suka dengan perjalanan budaya, sangat direkomendasikan untuk mengunjungi Wae Rebo, desa di balik awan Nusa Tenggara Timur. 

Teks dan foto: Siti Mahdaria