Sebelum November berakhir, saya berkesempatan ngobrol dengan Pak Wawan Sofwan. Ia adalah seorang pemain dan sutradara teater Indonesia, berasli Bandung, yang menyambangi Melbourne untuk mementaskan monolog Besok Atau Tidak Sama Sekali. Monolog ditulis, dipentaskan, dan disutradarai oleh Pak Wawan, mengenai peristiwa-peristiwa yang mendahului proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Ayo, marilah berkenalan dengan Pak Wawan!
Bolehkah bapak memperkenalkan diri?
Saya Wawan Sofwan. Saya seorang pemain teater dan juga sutradara teater dari Bandung.
Kenapa bapak memilih untuk mengadakan monolog ini di La Mama Theatre, di Australia?
Monolog ini udah lama, sejak 2017, 2018. Kemudian saya ngobrol dengan Sandra [produser Melbourne untuk Besok Atau Tidak Sama Sekali dan teman lama pak Wawan]. Ada acara lain sebenarnya, ada acara lain ke sini, namun pelaksanaannya agak susah. Akhirnya saya pakai monolog aja. Karena monolog Bung Karno relatif tidak sukar mencari sponsor, terutama sponsor ke sini.
Kemudian Sandra memutuskan untuk menghubungi La Mama, dan La Mama merespon dengan baik. Monolog ini dimasukkan ke ‘Explorations’ (La Mama Explorations, sebuah program yang dipersembahkan oleh La Mama yang memberikan artis kesempatan untuk mengembangkan karya mereka). Enggak susah sih, terutama Sandra yang membantu.
Setelah itu, kami mulai bergerak di Jakarta. Awalnya saya mementas lagi monolog ini, di Jakarta, di dua tempat. Kemudian saya ikut salah satu festival di Bali, kemudian pentas di Garut dan pentas di Bandung, untuk persiapan ke sini.
Nah, terus karena saya tahu La Mama itu kecil makanya saya mencari sebuah tempat kecil ketika pentas di Bandung. Kebetulan ada sebuah cafe di Bandung. Saya pun bermain di situ, dikondisikan seperti di La Mama, dekat di penonton. Saya menangkap aura intimasinya seperti itu.
Kenapa bapak percaya bahwa orang Australia harus belajar tentang Soekarno?
Tidak harus belajar, ya. Kan ini lebih memperkenalkan aja. Persoalannya, ada anggapan kemerdekaan Indonesia diberikan oleh Jepang. Anggapan ini ada di hampir semua negara; di sini, di Belanda, bahkan di Jepang sendiri dipercaya betul bahwa kemerdekaan kita ini diberikan oleh Jepang.
Dalam monolog ini saya memberikan, bukan menjelaskan. Penyampaiannya lebih ke “Ini nih, ceritanya sebenarnya seperti begini.”
Jepang mungkin mengkondisikan pada saat itu. Sebelum ada penyerahan Jepang ke Sekutu. Tapi yang memproklomasikan cepat itu kan, tetap Soekarno dan Hatta, dan seluruh peran Indonesia begitu.
Jadi tidak harus [belajar]. Ini sebenarnya lebih ke memperkenalkan.
P: Tetapi monolog ini bukan hanya mengisahkan sejarah umum. Ini penuh detil. Kenapa bapak pilih untuk melebarkan cerita proklamasi kemerdekaan?
Yang saya ketahui dari peristiwa itu hanya pembacaan teks proklamasi, kemudian rapat penyusunan teks proklamasi, dan penculikan oleh pemuda ke Rengasdeklok. Itu saja kan yang saya ketahui.
Namun ketika saya membaca satu buku saya terkejut, ‘Lho, ternyata Soekarno menunggu dulu Bung Hatta sebelum membacakan teks itu!’ Dan dari situ saya selalu berangkat dari diri saya pribadi, gitu ya. Saya ingin tahu tentang sejarah itu. Nah, itu mudah-mudahan membuat orang juga ingin mengetahui lebih lanjut.
Saya tidak punya motivasi muluk-muluk. Saya ingin tahu betul apa sih peristiwa yang terjadi sebelum Bung Karno membacakan teks proklamasi. Ternyata dia harus tunggu dulu Hatta. Dan bagi momen itu saya sangat bagus untuk saat ini, di mana persatuan itu penting sekali.
Karena saat itu–menurut saya, ya–Soekarno bisa lho, membacakan [teks Proklamasi] langsung. Tidak harus menunggu Hatta. Tapi tidak, ‘Saya harus nunggu Bung Hatta. Saya orang Jawa, dia orang Sumatra. Dan saya butuh persatuan.’ Nah, format itu sampai sekarang berlaku, kan? Bahwa, misalnya, jangan dari Jawa semua. Jangan seperti itu, wakilnya harus dari tempat lain.
Bagi saya penting banget, lah. Dan ketika saya mementaskan di Indonesia juga, rata-rata para penonton juga berpikir, ‘Lho, saya baru tahu peristiwa ini!’
P: Untuk pertanyaan terakhir, menurut bapak, kenapa penting sekali untuk para pemuda Indonesia untuk tetap terkait, atau tetap merasa hubungan, dengan Soekarno?
Mereka yang mendirikan bangsa ini. Karena merekalah kita mempunyai negara. Dan saya rasa itu penting sekali.
Tidak hanya Soekarno, sih. Makanya, di dalam monolog saya bukan Soekarno-an, sih, tapi saya tetap menyebutkan nama Soekarni, Khairul Saleh, Wikana… bagi saya penting sekali. Karena dengan orang-orang itulah, maka negara ini nyambung, kan? Mereka kemudian berjuang juga, sama-sama.
Orang juga penting mengetahui Hatta. Misalnya, monolog ini berangkat dari pandangan Soekarno tentang kemerdekaan. Mungkin ada orang lain yang melihat ‘Oh! Hatta juga punya peranan!’ Dari situ, maka dia memunculkan tokoh Hatta ketika mementaskan monolognya.
Atau ada juga yang bilang, ‘Enggak, Sjahrir juga penting!’ Tampilkan Sjahrir. Dalam perspektif Sjahrir, misalnya, kemerdekaan seperti apa? Peristiwa seperti apa? Ada juga yang mesti bilang, ‘Enggak, Tan Malaka juga penting.’ Ya, maka tampilkanlah Malaka.
Jadi tidak hanya Soekarno saja. Bagi saya Soekarno hanya media. Saya memilih Soekarno karena saya sudah menggali pikiran-pikiran Soekarno melalui pidato-pidatonya.
Jadi bagi saya, kita pelajari semuanya. Tidak hanya Soekarno saja. Dan bagi saya sangat penting kalau kita mau mengakui bahwa negara kita dibentuk oleh mereka.
OZIP mengucapkan terima kasih kepada Pak Wawan untuk kesempatan bercakap dengan bapak, dan semoga sukses untuk ke depannya!
Teks: Victoria Winata
Foto: Dianna Kusumo