Talk Show Batik Day 2020, Hubungan Erat Perempuan dengan Batik

Sejumlah pengusaha batik wanita Indonesia bercengkrama dalam webinar “Talk Show Batik Day 2020” yang diadakan pada Sabtu (3/10/2020) lalu via platform Zoom sebagai kolaborasi antara Dharma Wanita Persatuan (DWP) KJRI Melbourne dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Webinar tersebut diselenggarakan sehari setelah Hari Batik Nasional yang dirayakan pada hari Jumat (2/10/2020). Mengangkat tema “Batik: Budaya dan Ekonomi Perempuan”, Talk Show Batik Day membahas peran kaum perempuan sebagai perintis dan pelopor industri batik di Indonesia. Hal ini diutarakan oleh Ketua DWP Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Endah Pujiati Kadarmanta Baskara Aji dalam sambutan pembuka webinar. 

“Batik telah dan masih dilestarikan oleh kaum hawa di banyak tempat seperti misalnya di Jogja,” tutur Endah. “Dimana ada batik, di situ ada kaum perempuan.”  

Adapun para panelis talk show merupakan pengusaha batik wanita yang sudah memiliki nama baik di Indonesia maupun di Australia. Di Australia misalnya, ada founder Indonesian Batik Centre Melbourne, Iin West dan founder Lestadia Gallery, Diana Lestari, yang sudah mulai mempopulerkan batik di Australia. Lebih lanjut, produk batik Diana sudah dipamerkan dalam berbagai pameran di Melbourne, Canberra, dan Adelaide; salah satunya di Royal Melbourne Show 2019. 

Tidak hanya itu, masing-masing panelis talk show memiliki pendekatannya masing-masing terhadap seni rupa batik. Hal ini tercermin dari kedua panelis Talk Show Batik Day: founder dan director PT Gallery Batik Jawa Indigo, Ir. Mayasari Sekarlanti yang juga dikenal sebagai Nita Kenzo, dan pemrakarsa Batik Kadipaten Pakualam, Gusti Kanjeng Bandara Raden Ayu (GKBRAy) Adipati Paku Alam. 

Batik Kadipaten Pakualam misalnya, menggunakan berbagai macam motif batik yang sangat beragam. Dalam sesi presentasinya, GKBRAy Paku Alam memperkenalkan batik naskah yang terinspirasi dari naskah kuno. Selain itu Paku Alam juga memperlihatkan berbagai motif batik seperti Batik Surya Mulyarja, Batik Wisnu Mamuja, Batik Bayu Krastala, dan Batik Brama Sembada.  

Nita Kenzo

Lain halnya dengan Nita Kenzo yang dalam sesi presentasinya memperkenalkan tanaman Indigofera tinctoria sebagai pewarna alami dalam produk batik milik beliau. “Kami fokus pada penggalian dan pelestarian Indigofera tinctoria,” jelasnya. “Dengan demikian, kami bisa memproduksi warna alam yang tidak tergantung (pada) warna sintetik.” 

Senada dengan tema besar talk show, Nita setuju bahwa kaum perempuan memiliki peranan besar dalam sejarah perkembangan batik di Indonesia. Menurutnya, industri batik bisa menciptakan padat karya perempuan. 

“Perempuan Jawa yang melukis dengan canting-nya adalah cikal bakal perkembangan batik di Indonesia,” tutur beliau. “Pelaku (dalam industri batik) itu mayoritas adalah kaum perempuan. Dengan kekuatan masing-masing bisa saling memberdayakan.” 

Nita yang produk batik miliknya sudah dipamerkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Portugal, dan Tiongkok menganggap batik memiliki keunikan tersendiri: kekuatan storytelling. Menurut beliau, keunikan inilah yang bisa ditunjukkan ke seluruh dunia. 

“Batik Indonesia memiliki makna dan nilai luhur yang tidak dimiliki oleh negara lain,” jelas beliau. “Budaya batik tidak hanya dari produk, tapi juga dari proses pembuatannya.” 

Talk Show Batik Day 2020 juga menjadi ajang peluncuran batik patchwork yang merupakan kerjasama patchwork antara DWP KJRI Melbourne dan DWP Daerah Istimewa Yogyakarta. Dikepalai oleh Siska Dart, kerjasama patchwork ini diharapkan dapat menjadi instrumen diplomasi dan sosial budaya dalam melestarikan batik di Australia. 

“Semoga bisa menjalin hubungan yang erat dan saling kolaborasi untuk project yang akan datang,” tutur Siska. 

Teks: Jason Ngagianto

Foto: Berbagai sumber