SAMPAI KAPAN COVID-19 MENYERTAI KITA?

“Segala yang bernyawa niscaya akan merasakan kematian” (QS 3:185), karena itu, semoga COVID-19 hendaknya lebih cepat dari yang lainnya meninggalkan dunia yang fana ini. Dan nampaknya gejala-gejalanya sudah di ambang pintu, meski kita harus bersabar sebelum bersiap untuk melaksanakan “tahlilan” menyambut kepunahan virus ini.

Apa gejala yang di ambang pintu itu?

Gejala tersebut adalah kalung ajaib yang kini diusung Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Sebagaimana sempat diberitakan oleh media di Indonesia, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang bikin geger. Sang menteri bicara soal kalung bernama “Anti Virus Corona Eucalyptus”, dibuat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian. Syahrul mengatakan kalung ini dapat mematikan COVID-19 dengan kontak. Kontak 15 menit bisa membunuh 42 persen korona, dan semakin lama maka lebih banyak yang akan tereliminasi. 

“Kalau setengah jam, dia bisa (mematikan) 80 persen,” klaim Syahrul di Kementerian PUPR, Jumat (3/7/2020) lalu dinukil dari salah satu berita media di Indonesia.

Kasihan juga sang menteri karena meski minyak kayu putih sudah sejak turun temurun menjadi andalan umumnya rakyat Indonesia ketika terserang penyakit masuk angin, batuk, pilek, sakit perut dan gangguan kesehatan lain. Hal ini tidak serta merta menghindari banyaknya penolakan dan bahkan cemoohan yang dialamatkan kepada dirinya.

Sebenarnya umat manusia bukan sekali ini saja berhadapan dengan virus yang punya daya musnah sehebat COVID-19. Hanya di kala itu, umat manusia memang belum secanggih sekarang ini.

Lalu bagaimana nenek moyang manusia waktu itu menghadapi serangan virus-virus dari berbagai jenis itu? Oleh sebab itu, dalam “kisah” ini penulis ingin mengajak sidang pembaca kembali merenungkan apa yang pernah terjadi sekitar tujuh abad yang lalu di Eropa, yang dikenal dengan julukan “Maut Hitam”, yang pernah menyerang dalam rentang abad ke-14 dan ke-17.

Alkisah dalam abad ke-11 dan 12 di Eropa, begitu menurut para sejarawan “barat”, berkecamuk berbagai bentuk kekerasan dan penyamunan, kedzaliman dalam bentuk yang kuat menggagahi yang lemah. Bersibunuh antara sesama penganut ajaran Katolik pun merajalela. Yang terlibat bukan saja rakyat biasa, melainkan juga para bangsawan, meski sebelumnya sudah disepakati apa yang disebut sebagai gerakan “Perdamaian Demi Tuhan” (The Truce of God) dari The Lessons of Terror” milik Caleb Carr. Alhasil dapatlah diibaratkan bahwa waktu itu memang mewabah suatu bentuk “haus darah” yang menjangkiti banyak kalangan.

Pimpinan Gereja Katolik, Paus Urban II cukup risau melihat keonaran yang sudah mewabah itu. Dalam tahun 1095, seraya menghela napas panjang, Paus Urban II menghimbau para hulu balang yang bolak balik terlibat dalam pertarungan antara sesama mereka itu, agar melakukan sesuatu yang suci, tanpa harus meletakkan senjata mereka. Yakni membebaskan kota suci Yerusalem (Al Quds) dari tangan Muslim.

Dalam apa yang kemudian disebut sebagai salah satu “khutbah terampuh dalam sejarah”, Paus Urban II menyerukan kepada para hulu balang tersebut agar menumpas ancaman yang datang dari kalangan Muslim (Saracen dari kata Arab Syarqiyin yang berarti mereka yang dari Timur).

Kata Paus Urban II, “Biarlah mereka yang selama ini menjadi penyamun berubah menjadi laskar Kristus. Biarlah mereka yang selama ini saling berbaku hantam dengan sesama saudara seiman kini bertarung melawan kaum barbar (Muslim).” (The Lessons of Terror–Caleb Barr).

Dalam bukunya “The First Eden”, tokoh lingkungan Inggris, David Attenborough mengatakan, seruan dan himbauan Paus Urban II itu, yang kemudian dikenal sebagai Perang Salib, dapat disamakan seperti ajakan melakukan jihad dalam Islam. Paus Urban II juga menjanjikan setiap yang gugur, meski pun sebelumnya dia adalah pendosa karena melakukan kejahatan, seperti misalnya penggarongan, akan bulat-bulat masuk surga. Seruan itu laksana api yang merebak di rumput kering.

Di seluruh Eropa, himbauan Paus untuk memebebaskan dan merebut kembali kota suci Yerusalem (Al Quds) menggema di berbagai gereja, biara dan katedral. Berbagai laporan menyebutkan sekitar serratus ribu orang akhirnya berangkat menuju Al Quds atau Yerusalem untuk membebaskannya dari tangan Muslim. Singkat cerita kemenangan dan kekalahan silih berganti terjadi.

Yang menarik, begitu disebutkan dalam buku The First Eden adalah betapa banyak pelajaran yang dipetik umat Kristen dari Eropa dalam pertarungan mereka dengan kaum Muslim.

Dari Muslim-lah umat Kristen Eropa waktu itu berkenalan dengan berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Orang-orang Eropa tersebut sangat kagum melihat pohon jeruk yang berbuah dan berbunga pada waktu yang sama. Kemudian mereka berkenalan dengan buah tin, delima, anggur, melon, mentimun dan banyak lagi. Tidak lupa rempah-rempahan seperti cengkih, kayu manis, dan buah pala. Dari bangsa Arab (yang waktu itu merupakan bagian dari bala tentara Muslim) orang-orang Eropa belajar menikmati manisan terbuat dari air tebu–kata “sugar” dalam bahasa Inggris yang berarti gula dipinjam dari bahasa Arab “sukkar”.

Ketika bala bantuan pihak Eropa tiba di medan laga Timur Tengah, mereka terkesima melihat para salibiyah yang sudah terlebih dahulu “berkenalan” dengan Muslim, mengenakan busana yang lebih sesuai dengan iklim setempat, sering mendatangi kamar-kamar mandi umum, menggunakan parfum terbuat dari bunga mawar dan bedak yang dalam bahasa Arab disebut “talcum/talcum”. Lelaki Eropa juga meniru, misalnya sorban yang suka dikenakan lelaki Muslim, sementara perempuan Eropa menyontoh hijab. Juga lelaki Eropa mulai memelihara janggut, lagi-lagi meniru kebiasaan (bahkan ada yang menyebutnya sunnah) lelaki Muslim waktu itu.

Alhasil tidak sedikit pelajaran yang dibawa kembali ke Eropa oleh para peserta Perang Salib, termasuk barang-barang terbuat dari kaca dan lampu-lampu dari tembaga yang kemudian disumbangkan ke gereja yang memajangnya tanpa menyadari bahwa pada barang-barang tersebut termaktub kata-kata yang memuji kebesaran Allah SWT.

Banyak di antara para bangsawan yang kembali ke Eropa kemudian mendirikan kastil atau rumah yang dilengkapi dengan kamar mandi atau memugar rumah lama mereka agar dapat dibangun di dalamnya kamar mandi. Agar mereka dapat terus mengamalkan kebiasaan yang mereka contoh dari kaum Muslim di Yerusalem dan sekitarnya. 

Sebelum itu, banyak gereja di Eropa yang menganjurkan kepada jema’at mereka agar sedapat mungkin menghindari mandi, karena ketika mandi seseorang bukan saja akan melihat auratnya melainkan juga cenderung akan menyentuhnya. Suatu hal yang patut dihindari. (East and West – Prof. C. Northcote Parkinson).

Ternyata tanpa disadari, di antara segala bawaan tersebut (barang maupun mode dan kebiasaan) rupanya ada penumpang gelap– tikus hitam–yang kemudian sebagaimana sudah lazimnya, beranak pinak dan berkembang biak di wilayah baru mereka.

Gegara tikus hitam itu, dalam tahun 1347 berjangkitlah wabah Maut Hitam di Eropa.  Awalnya di Sisilia, Italia, dan kemudian berjangkit kemana-mana. Tubuh mereka yang terjangkit dipenuhi dengan bengkak-bengkak laksana bisul, khusus di sekitar kemaluan dan di bawah ketiak. Bau mulut mereka lebih dahsyat ketimbang kakus. Mereka muntah darah dan meninggal dalam sehari atau dua hari, bahkan terkadang dalam hitungan hanya beberapa jam setelah terjangkit.

Memang sebelum itu, sudah pernah meletus wabah Ta’un sejenisnya namun dalam abad ke 14 itu, keadaan daerah-daerah permukiman yang padat, dengan sarana kebersihan yang sama sekali tidak mendukung, dan tampilnya sang tikus hitam dan kutu-kutunya melahirkan malapetaka yang belum pernah ada taranya sebelum itu. Cepatnya penyakit itu menyebabkan kematian, diiringi dengan penyebarannya yang seolah tidak ingin kalah cepat mengguncang daerah Eropa.

Jenazah para korban dengan cepat dikubur, namun tidak ada upaya apa pun yang dapat mencegah dan menghabisinya. Dalam jangka waktu tiga tahun sejak pertama kali kemunculannya, Maut Hitam, mampu merenggut nyawa satu dari tiap-tiap tiga orang penduduk Eropa (The First Eden–David Attenborough).

Lalu dengan segala keterbatasan teknologi dan ilmiah di zaman itu, bagaimana Ta’un ini akhirnya pudar? Menurut teori yang populer dianut selama ini, virus atau kuman atau apalah nama penyebabnya, akhirnya tidak berdaya ketika penduduk yang tidak atau belum terjangkit mengurung diri (melakukan karantina), dan hanya keluar rumah apabila dirasa sangat perlu. Sementara yang mampu meninggalkan kawasan permukiman yang padat penduduk dan hidup dalam “pengasingan” di tempat lain. Meski begitu diperkirakan antara 70 sampai 200 juta orang tewas.

Ada satu mitos atau dongeng yang sudah dibantah oleh Museum Inggris yang menyebutkan bahwa wabah ketiga yang berjangkit sekian tahun kemudian, terutama di Inggris, akhirnya punah akibat kebakaran besar yang menghanguskan kota London dalam tahun 1666. 

Adakah hikmah yang dapat ditarik dari semua kejadian ini ketika umat manusia di abad ke-21 diganasi oleh virus corona baru, COVID -19? Allahu a’lam.

Penulis : Nuim Kaiyath