Lebaran

Usainya puasa bulan Ramadhan ditandai dengan tibanya perayaan Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah atau 2019 Masehi. Tahun ini, Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 5 Juni 2019 menjelang akhir musim gugur di Australia. Menyemangati perayaan hari raya di bulan suci Ramadhan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk bersama-sama mengupas lebih dalam makna kata Idul Fitri dan Lebaran.

Menariknya, belum lama ini, Kantor Berita Nasional Antara mempublikasikan sebuah tulisan mengenai asal usul dan makna kata Lebaran sebagai berikut:

“Selama ini mungkin kita bertanya-tanya dari manakah asal-usul kata ‘lebaran’ karena kata ini ternyata tidak dikenal dalam bahasa Arab. Menurut MA Salmun dalam artikelnya yang dimuat dalam majalah ‘Sunda’ tahun 1954, istilah tersebut ternyata berasal dari tradisi Hindu.

Menurut MA Salamun,  kata ‘lebaran’ berasal dari tradisi Hindu yang berarti ‘Selesai, Usai, atau Habis’. Menandakan habisnya masa puasa.

Istilah ini mungkin diperkenalkan para Wali agar umat Hindu yang baru masuk Islam saat itu tidak merasa asing dengan agama yang baru dianutnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata lebaran diartikan sebagai hari raya ummat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Sebagian orang Jawa mempunyai pendapat berbeda mengenai kata lebaran. Kata lebaran berasal dari bahasa Jawa yaitu kata ‘wis bar’ yang berarti sudah selesai. Sudah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang dimaksud. ‘Bar’ sendiri adalah bentuk pendek dari kata ‘lebar’ dalam bahasa jawa yang artinya selesai.

Namun, orang Jawa sendiri kenyataannya jarang menggunakan istilah lebaran saat Idul Fitri. Mereka lebih sering menggunakan istilah ‘sugeng riyadin’ sebagai ungkapan selamat hari raya Idul Fitri.

Kata lebaran justru lebih banyak digunakan oleh orang Betawi dengan pemaknaan yang berbeda. Menurut mereka, kata lebaran berasal dari kata lebar yang dapat diartikan luas yang merupakan gambaran keluasan atau kelegaan hati setelah melaksanakan ibadah puasa, serta kegembiraan menyambut hari kemenangan.

Saat ini, Pusat Bahasa hanya bisa memastikan bahwa kata ‘lebaran’ merupakan sebuah kata dasar yang terdiri dari tiga suku kata, yaitu le + ba + ran.”

Bagi umat Islam di Indonesia, kata “Lebaran” bersinonim dengan kata “Idul Fitri”. Dalam bahasa Arab, kata “id” bermakna perayaan dan sering digunakan bersama kata-kata lain seperti “id milad” (perayaan ulang tahun). Idul Fitri sendiri bermakna merayakan kembalinya seorang Muslim ke tanah suci. Pentingnya Idul Fitri digambarkan oleh sebuah hadis yang menjelaskan bahwa seseorang yang telah menunaikan ibadah puasa secara maksimal adalah laksana bayi yang baru lahir dari rahim ibunya.

Istilah inilah yang digunakan oleh Ismail Marzuki sebagai judul dari gubahannya di tahun 1950-an, “Selamat Hari Raya”:

Selain kata “Lebaran” dan “Idul Fitri”, sering juga umat Islam mengatakan “Minal ‘aidin Wal faizin” ketika bertemu dengan sesama. Pernahkah Anda bertanya mengenai asal-usul dari sapaan ini?

Salah seorang rekan sejawat siaran Bahasa Indonesia BBC London di tahun 1970-an pernah mengucapkan “Minal ‘aidin Wal faizin” kepada rekannya di siaran Bahasa Arab BBC. Namun, rekannya pun bingung karena dirinya tidak paham akan makna ucapan tersebut.

Hal ini karena dalam budaya Islam masyarakat Arab, mereka biasanya mengucapkan “’Id Mubarak”, “Taqabalallaah minni/a wa minkum” atau “Kullu ‘am wa antum bikhair” sebagai ucapan selamat Hari Raya.

Lalu, mengapa umat Islam Indonesia mengucapkan “Minal ‘aidin Wal faizin”?

Sebuah artikel menarik dari surat kabar Tribun News Bogor menguraikan asal-usul sapaan ini:

“Tahukah anda, ucapan Minal Aidin wal-Faizin bukan bermakna mohon maaf lahir dan batin.

Dirangkum dari berbagai sumber, kalimat Minal Aidin wal-Faizin terdiri dari beberapa penggal kata.

Kata Min artinya ‘termasuk’, Al-aidin artinya ‹orang-orang yang kembali›, Wal Artinya ‹dan›, serta Al-faizin Artinya ‘menang’.

Jika dimaknai secara harfiah, kalimat Minal ‘Aidin wal Faizin dalam bahasa indonesia menjadi ‹Termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai orang yang menang›.

Ucapan minal aidin wal-faizin ini menurut seorang ulama tidaklah berdasarkan dari generasi para sahabat ataupun para ulama setelahnya atau Salafus Salihin.

Perkataan ini mulanya berasal dari seorang penyair pada masa Al-Andalus, yang bernama Shafiyuddin Al-Huli, ketika dia membawakan syair yang konteksnya mengkisahkan dendang wanita di hari raya.

Sumber lain menyebutkan, pada zaman khilafiah rasyidin, ucapan Minal Aidin wal-Faizin, digunakan sebagai ungkapan bangga atas kemenangan perang yang sebenarnya, semisal perang Badar.

Jika dimaknai dalam konteks peperangan, akan berbunyi ‘Semoga Termasuk dari Orang-orang yang Kembali (dari perang) dan sebagai Orang yang Menang (dalam setiap Perjuangan Islam)’.

Ucapan minal ‘aidin wal-faizin ini tidak akan dimengerti maknanya oleh orang Arab, dan kalimat ini tidak ada dalam kosa kata kamus bahasa Arab, dan hanya dapat dijumpai makna kata perkatanya saja.

Di dalam hadis pun tidak dijelaskan secara spesifik mengenai ucapan ini.

Justru, ada ucapan kalimat yang bisa digunakan saat di Hari Raya Idul Fitri yang sering dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Dalam budaya Arab, ucapan yang disampaikan ketika menyambut hari Idul Fitri adalah Taqabbalallahu minna waminkum.

Kemudian menurut riwayat, ucapan nabi ini ditambahkan oleh orang-orang yang dekat dengan zaman Nabi dengan kata-kata Shiyamana wa Shiyamakum.

Sehingga, bila digabungkan kedua kalimat itu, maka akan bermakna ‘Semoga Allah SWT menerima amalan puasa saya dan kamu’.

Lantas, bagaimana bila ingin mengucapkan permohonan maaf lahir dan batin dalam bahasa Arab?

Anda bisa mengucapkan As-alukal afwan zahiran wa bathina  atau Kullu aam wa antum bikhair, yang berarti ‘semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik.”

Demikian dijelaskan oleh Tribun News Bogor. Meskipun sapaan umat Islam di Indonesia berbeda dari umat Islam di Arab, yang penting adalah niat dan keikhlasannya.

Lalu bagaimana pula dengan perayaan khas Indonesia “Halal Bihalal”?

Kata tersebut juga tidak terlampau jelas maknanya sebagai sebuah kalimat dalam bahasa Arab.

M. Qurasih dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al Qur an memberikan penjelasan mengenai pengertian dan makna yang terkadung dalam Halalbihalal. Menurutnya halalbihalal mengandung tiga arti.

Pertama dari tinjauan kebahasaan. Kata halalbihalal berasal dari kata halla atau halal yang bisa berarti menyelesaikan persoalan atau problem, meluruskan benang kusut, menjernihkan air yang keruh, dan melepaskan ikatan yang membelenggu.

Dengan demikian dengan adanya acara halalbihalal diharapkan hubungan yang selama ini keruh dan kusut dapat segera diurai dan dijernihkan. Halalbihalal bermakna untuk merekontruksi relasi kemanusiaan yang lebih sejuk dan menentramkan.

Kedua, tinjauan hukum. Kata halal digunakan sebagai lawan dari kata haram dan makruh. Dengan pengertian ini maka halalbihalal mengandung arti kekinian setiap orang yang berhalalbihalal untuk membebaskan diri dari perbuatan yang haram dan makruh, atau membebaskan diri dari perbuatan dosa.

Ketiga, jika dilihat dari Al- Qur an pengertian dan maknanya dapat kita jumpai dalam beberapa ayat dalam Al-Qur an di antaranya dalam (QS. 2: 168, QS. 8: 69, QS. 5: 88, QS. 16: 114), kata halalbihalal selalu dirangkaikan dengan kata thayyib (halalan thayyiba) yang berarti yang halal lagi menyenangkan.

Dengan pendekatan Qur’ani, maka yang dimaksudkan dengan halalbihalal adalah terbangunnya komitmen bersama untuk selalu melakukan yang baik dan bermafaat serta menyenangkan semua pihak.

Dengan demikian, ketiga pengertian yang dikandung dalam kata halalbihalal bisa digunakan untuk menjelaskan pesan yang dikandung oleh tradisi tersebut. Dalam konteks ini halalbihalal merupakan media yang paling efektif untuk merajut kembali hubungan yang membeku dengan cara saling memaafkan dan menyadari kekhilafan masing-masing.

Ma’af lahir Bathin

Wallahu a’lam