Indahnya Inovasi Pengelolaan Kebun Teh Hijau di Wazuka, Kyoto

Jepang terkenal tidak hanya dengan anime dan manga-nya, tetapi juga teh hijau. Teh hijau, yang dijuluki rajanya teh adalah salah satu minuman andalan Jepang. Terdapat lusinan daerah yang menghasilkan varian teh hijau dengan ragam rasa yang bervariasi. Salah satu daerah paling terkenal sebagai penghasil teh hijau dan matcha adalah Kyoto.

Sejarah mencatat bahwa banyaknya utusan yang dikirim ke Cina selama zaman Nara (710–794) mengawali sebagian besar interaksi antara Jepang dan teh. Hubungan ini memiliki kaitan erat dengan agama Buddha dan kaum kelas atas. Lalu, pada awal zaman Kamakura (1185-1333), biji teh dibawa ke Kyoto oleh Eisai, pendiri aliran Buddha Zen dari sekte Rinzai, yang kemudian menandai dimulainya produksi teh dalam negeri. Sejak itu budaya teh semakin berkembang, dan lahirlah upacara minum teh Jepang, Sado, yang dianggap sebagai puncak keanggunan pada masanya. 

Zaman pun berubah dan popularitas teh hijau melesat ke seluruh dunia. Uji merupakan daerah terkenal di Kyoto sebagai penghasil teh hijau dan matcha premium. Ternyata, wilayah pertanian terbesar yang menghasilkan 40% teh hijau Uji ini adalah sebuah daerah bernama Wazuka, si sisi selatan Perfektur Kyoto. Harga rata-rata teh hijau yang diproduksi dari Wazuka merupakan yang tertinggi di Jepang.  

Kenapa teh hijau bisa tumbuh dengan subur di Wazuka? Alasannya adalah kondisi lahan mengalirkan air murni melalui sistem drainase, dan banyaknya mineral yang terkandung di dalam tanah sehingga membuat tanahnya subur. Selain itu, banyaknya kabut di area ini berperan sebagai tirai yang mengurangi intensitas cahaya matahari yang menerpa teh hijau. Secara cuaca, Wazuka termasuk daerah yang memiliki curah hujan tinggi dan terdapat perbedaan yang mencolok antara suhu di siang hari dan malam hari.

Terakhir, dari segi lokasi, posisi Wazuka cukup dekat dengan ibu kota Jepang dahulu, yaitu Kyoto. Hal ini memudahkan pengiriman teh yang dipersembahkan untuk para kaisar dan samurai jika dikirim dari Wazuka. Selain itu, petani di wilayah Wazuka terus berinovasi dalam teknik produksi daun teh untuk mengikuti perkembangan pasar. 

Salah satu petani inovatif di Wazuka adalah Daiki Tanaka, pendiri D:matcha Kyoto. D:matcha Kyoto merupakan sebuah startup teh di Wazuka yang menjalankan konsep bisnis “farm-to-table”, dimana mereka bertani untuk menghasilkan produk teh hijau terbaik, mengolahnya di pabrik, dan menyediakan set menu untuk wisatawan yang berkunjung ke café.

Daiki Tanaka

Daiki yang dahulunya adalah CEO dari sebuah donut chain di Jepang memutuskan untuk keluar dan mendirikan startup-nya sendiri. Dia memulai perjalanan kewirausahaannya dengan terlebih dahulu belajar dari pakar teh hijau Jepang. Hal ini membantunya berjejaring dengan tokoh-tokoh kunci dari setiap langkah proses produksi teh. Sejak 2017, D:matcha mulai membudidayakan perkebunan teh mereka sendiri di Wazuka. Ukuran perkebunan teh ini mencapai sekitar 3 hektar (sekitar 30,000 meter persegi) pada Januari 2020.

Daiki dan timnya memegang tiga nilai utama dalam menjalankan bisnisnya, yakni design (mengolah produk yang berkonsep), delicious (membuat sajian yang enak), dan diligent (bekerja dengan rajin untuk memberikan hasil terbaik). Nilai-nilai ini tercermin dari logo mereka yang memiliki tiga helai daun teh. Daiki dan para pendiri D:matcha Kyoto juga peduli akan pentingnya produksi makanan sehat. Kesadaran ini terlihat dalam menu toko dan cafe mereka. Salah satu contoh adalah Sencha Pasta, dimana mereka menggunakan bahan-bahan organik dan bebas gluten. 

Untuk mendorong partisipasi masyarakat global dan memantik inovasi, mereka pun menyediakan program magang bagi para pemuda di seluruh dunia yang tertarik dengan teh hijau dan budaya Jepang untuk mengalami langsung proses pengolahan teh dari lahan hingga meja makan. Hal ini juga lah yang menarik bagi penulis untuk bergabung menjadi relawan di D:matcha Kyoto selama sebelas hari.

Magang bersama staf

Selama menjadi relawan, penulis benar-benar menyatu dengan proses pertanian, pengolahan daun teh, dan berinteraksi dengan pengunjung D:matcha. Dari pengalaman itu, penulis benar-benar merasakan passion dan ketulusan dari para staf D:matcha dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Saat itu ada enam staf termasuk Daiki dan dua staf magang. Semua orang saling mendukung dan dekat seperti keluarga. Pekerjaan berat seperti memanen pun tetap terasa menyenangkan.

Daiki menyediakan akomodasi dan konsumsi bagi para magang dengan cuma-cuma. Penulis bisa berkontribusi dalam proses magang tanpa perlu mengeluarkan biaya. “Saya percaya bahwa D:matcha, yang telah kami bangun dari nol, merupakan perpanjangan dari diri saya sendiri, dan staf serta pekerja magang yang bekerja dengan kami seperti keluarga bagi saya. 

“Bagi mereka yang memiliki hasrat kuat untuk tinggal di daerah pedesaan Kyoto dan benar-benar ingin berbagi waktu dengan kami, kami dengan senang hati menyambut mereka. Kami bertujuan untuk membuat dampak positif pada kehidupan mereka dan bisa berbagi pengalaman yang bermakna bersama. Sementara kami mengharapkan sikap profesional dan komitmen untuk bekerja, kami merangkul pekerja magang sebagai bagian dari keluarga kami,” jelas Daiki.

Daiki menutup penjelasannya dengan menjabarkan tujuan berdirinya D:matcha Kyoto. Mereka ingin membuat model revitalisasi untuk daerah pegunungan yang berkurang populasinya. 

“Kami bertujuan untuk menumbuhkan rasa keterikatan dan keinginan terhadap daerah dengan menghargai dan melestarikan tradisi dan budaya lokal. Kami akan mengubah rumah kosong menjadi hotel, merevitalisasi lahan terbengkalai untuk keperluan manufaktur, melakukan eksperimen pertanian yang inovatif, menerima pekerja magang, dan memberikan dukungan bagi karyawan untuk pindah ke area tersebut. Dengan menambahkan nilai baru ke kawasan ini, kami berharap dapat menciptakan basis penggemar dari orang-orang yang ingin terlibat dan tinggal di sana. Tujuan kami adalah untuk membangun model komunitas lokal yang berkelanjutan yang menjaga keragamannya,” jelas Daiki.

Teks dan foto: Siti Mahdaria