Imitation is the Sincerest Form of Flattery

Judul di atas berupa petuah yang sebenarnya cukup membanggakan bagi seseorang yang karyanya, perbuatannya, pikirannya, atau tulisannya ditiru alias dijiplak orang lain, tanpa izin dan sepengetahuannya.

Kata ungkapan Inggris yang menjadi judul tulisan ini, “Imitation is the Sincerest Form of Flattery” – “Meniru atau Menjiplak adalah Bentuk Pujian Yang Paling Ikhlas” – memang benar adanya. Karena alasan seseorang meniru atau menjiplak sesuatu adalah rasa kagum, bukan benci.

Sebagaimana diketahui belakangan ini cukup ramai dibicarakan, terutama dalam media sosial, tentang kelancangan Malaysia yang dituding mengakui lagu perjuangan Indonesia “Halo Halo Bandung” sebagai miliknya.

Ada juga orang-orang Sumatera Utara, khususnya, yang “mengakui” bahwa pada hakikatnya lagu “Halo-Halo Bandung” adalah ciptaan mahasiswa dari Sumetara Utara yang di zaman revolusi menuntut ilmu di Bandung.

Kata mereka “pengakuan” ini didasarkan pada kenyataan bahwa umumnya lagu-lagu dari Parahyangan, berirama santai, merdu, dan syahdu. Sementara itu, “Halo-Halo Bandung” begitu gegap gempita, mirip-mirip lagu Tapanuli Utara seperti “Sinanggar Tulo”. Wallahu a’lam.

Pada hakikatnya memang banyak unsur atau warisan budaya dari Indonesia yang kemudian diakui Malaysia sebagai miliknya. Sebuah media di Indonesia pernah menuding Malaysia mengklaim unsur budaya Indonesia sebagai unsur budaya mereka,.

Sebut saja angklung, alat musik khas/tradisional Sunda.

Indonesia pernah geram dan akhirnya angklung diakui oleh UNESCO sebagai milik Indonesia.

Kemudian, batik pernah diakui sebagai milik Malaysia. Indonesia menolak, dan akhirnya kembali UNESCO turun tangan dan mengakui batik sebagai warisan budaya Indonesia yang kata orang di Indonesia kini sudah dijungkir-balikkan fungsinya. Maksudnya batik seharusnya dikenakan sebagai pakaian bagian bawah, bukan sebagai pakaian bagian atas, sebagai kemeja, barangkali maksudnya.

Kemudian, senjata tajam “Keris” pernah diakui Malaysia sebagai warisan budayanya.

UNESCO sigap bertindak dan mengakui senjata yang disebut “rencong” di Aceh itu sebagai warisan budaya Indonesia.

Bahkan kuda lumping pun (di Sumatera Utara dikenal dengan nama kuda kepang) sempat diakui Malaysia sebagai warisan budayanya.

Di antara yang cukup menggemparkan bagi Indonesia adalah pengakuan Malaysia bahwa lagu “Rasa Sayange” adalah milik mereka dan digunakan untuk mempromosikan pariwisata ke negara jiran itu. Pada hal kenyataannya lagu tersebut punya orang Maluku.

Ada teori yang menyebut bahwa nama Maluku berasal dari kata Arab “muluk” yang artinya Kerajaan. Selain itu, ada kemungkinan juga berasal dari kata “lukluk” yang dalam Bahasa Arab berarti mutiara.

Juga menarik adalah apa yang pernah diungkapkan oleh Rick Stein, seorang penekun dan pembawa acara televisi tentang kuliner dari Inggris.

Ketika berada di Lengkawi, Malaysia, dia menuturkan bahwa “tidak ayal lagi hidangan rendang adalah makanan yang paling populer di Malaysia”. Katanya, dia sempat melakukan survei tentang rendang dan umumnya orang-orang Malaysia yang dimintai pendapatnya mengaku bahwa rendang adalah makanan kesukaan mereka.

“Tapi sayang,” kata Rick Stein, “tidak ada yang tahu pasti dari mana asal usul masakan ini.”

Waktu itu saya rasanya ingin menjeritkan “Dari Padang alias Minangkabau alias Sumatera Barat!”

Memang ada saja pihak-pihak yang mau enaknya tanpa harus menyingsing lengan baju, peras keringat dan banting tulang. Ini pun tidak terbatas pada hal-hal sepele saja.

Lagu kebangsaan Malaya (sebelum dan setelah menjadi Malaysia) “Negaraku” pada hakikatnya meminjam irama lagu Indonesia “Terang Bulan” karangan Saiful Bahri – yang dikenal sebagai pemimpin Orkes Studio RRI Jakarta di zaman pra TVRI. Waktu itu, Bung Karno melarang lagu tersebut diperdengarkan atau dinyanyikan sebagai hiburan di Indonesia demi menghormati Malaya yang kemudian menjadi Malaysia. Padahal seingat saya lagu itu sangat digemari masyarakat terutama di Sumatera Utara karena liriknya yang menyentil lelaki:

Terang bulan terang di kali

Buaya timbul kusangka mati

Jangan percaya cakap laki-laki

Berani sumpah tapi takut mati…

Kabarnya lagu itu aslinya dari Prancis, kemudian digubah dan digubah sampai akhirnya disusun kembali oleh Saiful Bahri.

Bahkan salah satu lagu perjuangan Indonesia “Dari Barat Sampai ke Timur” diduga iramanya meniru lagu kebangsaan Prancis.

Ternyata tidak mudah menciptakan sesuatu yang asli, apalagi nyanyian yang berkisar di antara hanya tujuh bunyi.

Bak kata orang kita Tapanuli Utara:

Sakitna tidak seberapa Pak, maluna itu…

Konon satu-satunya ciptaan manusia yang tidak dicontoh dari alam adalah roda.

Mungkin itu sebabnya penyanyi kondang Amerika Fats Domino pernah melantunkan lagu:

“I’m Gonna Be a Wheel Someday”.

Selamat mendengarkan.

Teks: Nuim Khaiyath