Melbourne Berhak Sombong Soal Kopi

Komedian Christian Hull pernah berkomentar dalam sebuah video lawaknya, “When you order coffee outside of Melbourne, you find it tastes a lot like dishwater and complete sh*t…cause Melbourne does make the best coffee. Shut up, Sydney!”

Well, itu benar. Belum pernah saya menjumpai ritual mengopi seperti di Melbourne. Semua orang terlihat membawa kopi di pagi hari, antrian panjang di kedai kopi stasiun, dan sepertinya paling tidak setiap rumah punya mesin pembuat kopi, entah manual atau mesin canggih espresso.

Melbourne sanggup mengubah siapapun yang tinggal cukup lama di sana menjadi seorang coffee snob! Padahal, saya tidak berharap bakal menyukai minum kopi di negara garis miring benua ini. Selain mual, biasanya akan saya tambahkan gula banyak-banyak supaya manis.

Tapi di Melbourne-lah, saya belajar minum kopi tanpa gula, walaupun levelnya masih varian pakai susu. Yang paling saya suka adalah cappuccino karena umumnya di Australia, cappuccino disajikan dengan taburan gula aren alias brown sugar di atas buihnya sehingga memberi sensasi manis yang legit. Saya belum pernah kecewa dengan kopi yang saya beli di manapun di Melbourne. Bahkan kopi 1 dollar di Seven Eleven, not bad! Rata-rata kopi di Melbourne tidak semahal kota lain seperti, uhuk, Darwin… Di Darwin, setidaknya saya harus keluar AU$ 3.5 sementara di Melbourne rata-rata ukuran cangkir kecil dijual AU$ 2.5-2.8. Lumayan kaaan, kalau belinya sering?

Jika ingin berburu kopi, para pendatang baru pastilah diarahkan ke pusat kota alias CBD Melbourne. Di antara Flinders station dan Melbourne Central station, bertebaran aneka kafe di gang-gang kecil nan nyaman beraroma sedap makanan dan…kopi! Saya sering lewat Degraves st. yang terkenal itu, tapi favorit saya adalah deretan Little Bourke st. Di sana terdapat Brother Baba Budan dan Patricia Coffee Brewers. Di Patricia, Anda bakal menikmati kopi sembari ngemper di trotoar! Sementara Brother Baba Budan, saya sampai ke sana 3 kali dalam sepekan sebelum nonton konser Coldplay akhir 2016 lalu.

Pertama menyambangi Brother Baba Budan, saya masih belum menemukan apa yang dipuja-puja orang dari kedai mungil penuh sesak itu. Tapi kali kedua ke sana, saya mendapat secangkir cappuccino yang hampir bikin saya nangis saking enaknya! Aromanya sangat kuat, rasanya pekat dan sedap! Saya sampai membeli biji yang dipakai kedai itu sebagai dasar espressonya. Sayangnya, kali ketiga, saya tidak menemukan rasa itu lagi. Mungkin benar kata orang, si pembuat alias tangan barista punya pengaruh terhadap rasa kopi kita.

Teks: Elga Ayudi