Tidak dapat dipungkiri, pandemi COVID-19 telah mengubah gaya hidup masyarakat. Mulai dari diterapkannya protokol kesehatan seperti social distancing dan pemakaian masker di area umum, sampai para pekerja kantor yang diharuskan kerja dari rumah.
Victoria sendiri, terutama kota Melbourne, menerapkan salah satu aturan COVID-19 terketat di dunia. Bagaimana tidak, Victoria sempat mengalami lockdown selama empat bulan. Lockdown tersebut sangat memengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat, terutama para pemilik bisnis kecil. Tidak sedikit bisnis yang tutup karena tidak mampu menopang biaya yang semakin bertumpuk, sementara pemasukan tidak ada.
Hasan Panetta, seorang pengusaha di Melbourne, mengalami situasi ini. Sebelum pandemi, ia aktif menggeluti bisnis rental pocket WiFi-nya yang cukup ramai. Namun dengan tutupnya perbatasan internasional, turis pun berhenti berdatangan, sehingga Hasan mengalami penurunan omset sekitar 95%.
Hasan pun heran. Sementara bisnisnya mengalami penurunan drastis, bisnis kue rumahan istrinya justru mengalami pelonjakan pelanggan. Melihat fenomena ini, ia menyadari adanya peluang untuk membantu sesama pebisnis kecil — menjadi penghubung antara mereka dan para konsumen.
Disitulah ia memulai Doodel, sebuah aplikasi dengan visi & misi mulia. Yuk, kita mengobrol santai dengan Hasan sambil mencari tahu apa itu Doodel dan bagaimana ia menjembatani komunitas Indonesia di Melbourne dengan para pebisnis kecil.
OZIP: Hai Hasan! Sebelum kita mulai, mau tanya sedikit, apa inspirasi Anda untuk memulai Doodel?
Hasan Panetta (HP): Sebelum pandemi, fokus saya adalah di bisnis rental pocket WiFi. Karena bisnis mengandalkan inbound dan outbound travellers, kita mengalami penurunan sales drastis dan saya harus memproses refund karena banyak yang membatalkan kunjungannya.
Yang mengherankan, bisnis patisserie istri saya malah melonjak di saat lockdown. Dimulai dari teman-temannya yang memesan dan posting ke Instagram dengan sticker “Support Local Business”. Lama kelamaan, pelanggan pun bertambah banyak — dari mulut ke mulut.
Selain itu, saya juga mulai ditawari beberapa teman untuk membeli makanan dari si A yang dulunya chef restoran B, tetapi karena lockdown jadi restorannya tutup. Namun sayangnya, saat saya memesan makanan, banyak yang tidak bisa mengantar ke daerah saya karena kendala [jarak] jauh.
Dari dua kejadian ini, saya baru sadar manusia itu memiliki jiwa membantu satu sama lain dikala susah. Dari situpun saya terinspirasi memulai Doodel.
OZIP: Apa perbedaan Doodel dengan aplikasi food delivery lainnya?
HP: Aplikasi food delivery lainnya lebih fokus ke one-on-one delivery, sedangkan Doodel menggunakan sistem pre-order (PO). Artinya, makanan akan dimasak dan diantar di hari yang telah disepakati antara penjual dan pembeli. Selain itu, jangkauan delivery Doodel juga lebih luas dibanding aplikasi lainnya, yang biasanya hanya menjangkau radius 5 kilometer.
Singkatnya, Doodel menggunakan sistem one-to-many delivery.
OZIP: Boleh tahu ide nama Doodel terinspirasi dari apa?
HP: Nama Doodel adalah hasil obrolan dengan business partner saya. Doodel singkatan dari Doorstep Delivery. Saya suka Doodel karena catchy juga.
Dari situ saya ada ide menyebut para contractor pengantar makanan sebagai Doodelion (Doodel + Minion), karena saya mau ada jutaan Doodelion, seperti minion.
OZIP: Bisa ceritakan sedikit suka dukanya proses launching Doodel — dari awal pemikiran konsep sampai launching?
HP: Setelah ide sudah terbentuk, saya mulai meminta quote kepada berbagai developer untuk membuat website dan aplikasi mobile. Namun saya tidak menemukan yang cocok. Ada yang membanderol harga setinggi $200.000 dengan target website jadi setelah 8 bulan! Karena tidak dapat menunggu lama, saya turun tangan membuat website sendiri. Website itu saya kerjakan dalam waktu 1-2 minggu saja.
Sementara itu, sudah mulai terbentuk juga tim Doodelion melalui kenalan. Banyak juga small business owners yang sudah registrasi sendiri untuk menjadi partner, setelah mengetahui adanya Doodel. Kesulitannya waktu itu bukan menjual ide Doodel, tetapi banyak partner yang tidak yakin bisa menemukan bahan-bahan makanan karena banyak supplier yang tutup.
OZIP: Menurut Anda, apa yang membuat Doodel populer di kalangan komunitas Indonesia?
HP: Untuk pertanyaan ini, saya tidak tahu jawaban pasti. Namun saya rasa komunitas Indonesia memiliki jiwa gotong royong, dan hal ini terlihat kental di masa pandemi.
Dengan membeli, konsumen tidak hanya membantu pebisnis kecil untuk stay afloat, tetapi juga membantu para Doodelion mendapat income tambahan.
Selain itu, para partner juga membantu Doodel agar terus berjalan dengan membayar komisi. Dana ini tersalurkan untuk membangun Doodel dan mempekerjakan staff Doodel dan para Doodelion.
OZIP: Apa mimpi Anda ke depannya terkait perkembangan Doodel? Apakah ada rencana bagi Doodel untuk menjangkau di luar komunitas Indonesia di Victoria?
HP: Jujur, saya masih bingung mengapa masakan Indonesia kurang dikenal di Melbourne dibandingkan masakan Malaysian, Thai atau Vietnamese. Padahal, Australia paling dekat dengan Indonesia.
Mudah-mudahan kedepannya saya bisa ketemu formula yang tepat untuk memperkenalkan masakan Indonesia ke komunitas lainnya. Dengan begitu, secara langsung saya bisa membantu bisnis F&B (food and beverage) Indonesia di Australia.
Saya juga bermimpi adanya jutaan Doodelion, dan berharap Doodel bisa membantu menyejahterakan hidup mereka.
—
Jika ingin membeli makanan: Doodel bisa diakses melalui www.doodel.com.au
Jika ingin menjadi partner:
Register melalui https://partner.doodel.com.au
Salah satu staff member Doodel akan menghubungi anda untuk lebih mengerti bagaimana Doodel bisa membantu memajukan bisnis anda.
Anda akan diberikan akses ke portal Doodel untuk mulai menjual produk anda.
Jika ingin menjadi Doodelion: Register melalui https://doodel.com.au/pages/join-doodelion-world
Teks: Rachel Melisa
Foto: Berbagai sumber