Jatuh-Bangun Pebisnis Indonesia di Australia

Diaspora Indonesia telah banyak mengisi berbagai posisi di tengah masyarakat Australia. Ada yang menjadi pengajar di sekolah maupun universitas, aktivis sosial dan lingkungan, bekerja di bidang hukum, pemerintahan, dan hospitality, termasuk di sektor bisnis. Ya, warga Indonesia yang memulai dan menekuni bisnis di macam-macam bidang memang bukan pemandangan asing lagi. Melbourne yang cenderung terbuka pada hal-hal baru serta jumlah diaspora Indonesia yang terbilang besar, membuat kota ini memiliki pasar yang menjanjikan bagi para pebisnis, tak terkecuali pebisnis Indonesia.

Menangkap peluang

Zurlia Istiviani Usman, pemilik butik busana Muslim “Emaan”, menceritakan bahwa berbisnis di Melbourne adalah soal memanfaatkan peluang. “Saat itu, di sekitar tahun 2000, saya merasa kesulitan mencari pakaian yang sesuai dengan aturan Islam. Jika ada pun, kebanyakan adalah produk Arab yang desain dan motifnya khas Arab. Saya jadi berpikir, ada baiknya jika saya merintis usaha karena potensinya besar.” Dari situ, Zurlia kemudian menghubungi produsen garmen di Indonesia untuk mengirimkan barangnya ke Melbourne untuk kemudian ia jual.

Emaan, bisnis retail busana Muslim yang ia dirikan tahun 2004 telah mengalami perjalanan cukup panjang, dari nol sampai menjadi pionir dalam bisnis Islamic garment and modest clothing di Melbourne. “Tadinya saya jualan di rumah, sekitar dua bulan. Saya mengandalkan word-of-mouth untuk berpromosi. Saya kasih tahu teman-teman Indonesia maupun non-Indonesia bahwa saya jualan baju muslim. Teman-teman memberi saya support yang berarti, sehingga sekarang Emaan bisa bertempat di lokasi strategis dan cukup luas,” ujar wanita asal Malang, Jawa Timur ini.

Setelah sempat berganti lokasi dua kali, kini Emaan menempati gedung di 338/342 Sydney Rd, Coburg. Barang yang dijual pun kini didesain sendiri sesuai profil dan minat konsumen di Melbourne. “Sekarang kami mendesain sendiri karena ukuran badan, selera, tuntutan kualitas konsumen di Melbourne berbeda dibandingkan dengan di Indonesia,” tambahnya. Hingga kini, hampir semua produk Emaan adalah hasil desain sendiri dan diproduksi oleh empat perusahaan garmen di Solo dan Jakarta. Sisanya, atau sekitar 10 persen, adalah produk jadi dari Inggris, Arab Saudi, dan Turki.

Sama dengan Zurlia yang memanfaatkan peluang sebagai jalan awal membuka bisnis, Agus Kosasih pun melihat peluang pasar yang besar sebelum akhirnya memutuskan menjadi entrepreneur. Pria yang biasa disapa Gus ini adalah pemilik iProperty, perusahaan properti yang berlokasi di Collins St, Melbourne. Awalnya, ia bekerja di sebuah perusahaan properti, kemudian setelah tujuh tahun, ia melihat peluang yang baik dan merasa mampu menjalankan bisnisnya sendiri di tahun 2011.

Sherly Annavita, pemain baru di dunia bisnis di Melbourne, melihat peluang dengan cara berbeda. Pemilik brand Melbie Hijab ini melihat bahwa kemajuan teknologi menyediakan ruang dan kesempatan bagi siapa saja yang ingin berbisnis. Karena itulah, ia menjalankan bisnisnya dengan menjadikan teknologi informasi dan komunikasi sebagai senjata. Basis penjualan jilbab milik Melbie Hijab memang melalui website dan media sosial dan menyasar anak muda sebagai target pasar.

Mengalahkan Tantangan

Bisnis baru maupun lama, tentu ada tantangannya. Zurlia menuturkan bahwa tantangan terbesarnya adalah menghadapi pesaing yang menawarkan modest clothing dengan harga jauh lebih murah. “Itu termasuk perusahaan retail besar di Australia, yang umumnya baju-baju tertutup begitu dijual dengan harga murah sekali,” tutur Zurlia. Namun demikian, menurutnya masyarakat Muslim di Australia dan Melbourne khususnya, terbilang banyak. “Insya Allah kami enggak kekurangan customer,” ujarnya lagi.

Selain itu, Emaan kini memperkenalkan nilai dan visi bisnis yang progresif, inovatif, dan berkelanjutan. Zurlia yang mulai menyerahkan tampuk kepemimpinan Emaan kepada salah satu putrinya, Anisa Azzahra Ismail, mempercayakan penggarapan serta penerapan visi baru ini kepada sang putri. “Bisnis kami memiliki value yang kuat. Kami mengedepankan ethical trading. Kami memperhatikan pekerja-pekerja kami di Indonesia. Mereka dibayar dan diperlakukan dengan layak,” jelasnya. Selain itu, Emaan juga mengedukasi pembeli tentang dampak produk pakaian yang murah bagi lingkungan. “Pakaian murah itu, gampang dibeli tapi juga gampang dibuang, karena kita tidak merasa sayang dan kualitasnya juga kurang. Akibatnya, banyak sampah menumpuk.”

Anisa menambahkan, “kami ingin menjadi bagian dari bisnis yang sesuai dengan ajaran Islam. We’re looking forward to the future of Islamic community, we want to do a lot of good work by adding more value. We want to ensure that everything is made ethically,” ujarnya.

Sementara itu, Gus meyakini bahwa layanan prima adalah resep terpenting agar dapat bertahan di dunia bisnis, terutama di bidang real estate yang mengharuskan pebisnis berinteraksi intens dengan klien. “Bisnis bisa berkembang kalau kita kasih layanan yang baik dan klien senang dengan hasil kerja kita. Klien yang puas akan dengan senang hati mempromosikan kita kepada orang lain,” tutur Gus lebih lanjut.

Birokrasi mudah

Zurlia memandang lingkungan bisnis di Melbourne sangat memudahkan seseorang dalam memulai bisnis. Menurutnya, birokrasinya tidak berbelit-belit. Hanya dengan memiliki Australian Business Number (ABN), kita sudah bisa menjalankan bisnis. Sherly menambahkan, jika bisnis kita berupa social startup (menghasilkan uang pluas memberikan manfaat sosial) dan kita sudah mendaftar dan mendapatkan ABN, ada lembaga resmi bernama Philanthropy Australia yang bisa membantu pemodalan. “Mereka justru mencari startup kecil untuk didanai,” terangnya.

Teks: Pratiwi Utami

Foto: dok. Emaan dan Melbie Hijab