IMLEK NAN SENYAP: MENGEKSPLORASI WAJAH PERAYAAN IMLEK DI KOTA PECINAN KECIL DI LOMBOK

Hari Sabtu tanggal 25 Januari 2020 kemarin bertepatan dengan puncak perayaan hari raya Imlek. Seluruh etnis Tionghoa di berbagai belahan bumi merayakan perayaan besar ini dengan berbagai pagelaran yang telah dipersiapkan dari jauh hari sebelumnya. Sebagai perayaan terpenting warga Tionghoa, Imlek yang berlangsung selama15 hari ini dirayakan dengan megah di pusat-pusat pecinan di seluruh dunia.

Bertolak belakang dengan perayaan Imlek yang meriah di kota-kota besar lainnya di, perayaan Imlek di kota-kota kecil dan satelit Indonesia berlangsung dengan tenang dan syahdu. Bagaimana sebenarnya wajah Imlek di kota-kota kecil Indonesia? Kali ini, OZIP berkesempatan untuk melihat suasana Imlek di dua kota pecinan kecil di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dimana etnis Tionghoa telah lama bermukim. 

Ketika seluruh etnis Tionghoa di seluruh belahan dunia merayakan Imlek dengan cara mereka masing-masing, gegap gempita Imlek seperti hampir tidak menyentuh dua kota penting bagi etnis Tionghoa di Lombok Ampenan dan Cakranegara. Berbicara mengenai perayaan Imlek, menyusuri daerah sekitar kedua kota ini di puncak Imlek tahun ini membuat penulis termenung cukup lama. 

Sebagai kantong utama domisili etnis Tionghoa di Lombok, jejak-jejak imlek hanya terasa dari lampion-lampion merah yang bergantungan. Tidak terlihat adanya euforia perayaan tahun baru di jalanan yang tampak sepi. Bahkan di kota Ampenan sendiri, tidak terlihat satu pun lampion yang digantung di rumah-rumah warga Tionghoa sebagai penanda perayaan Imlek. Jika mesti merangkum nuansa Imlek di dua kota pecinan ini, satu kata yang mungkin mendeskripsikan suasana tersebut adalah “senyap”.

Chris, salah seorang penduduk kota Ampenan turut menyesalkan perayaan Imlek yang setiap tahunnya semakin terkesan biasa-biasa saja. “Biasa aja, semakin lama semakin biasa. Tidak meriah seperti tahun-tahun lalu. (Tahun lalu) ramai, banyak yang berjualan aneka makanan, ramai banget pokoknya meriah, ada barongsai,” ujar Chris yang pada malam Imlek justru tidak bisa merayakan dengan keluarga karena tuntutan pekerjaan dan memutuskan untuk bekerja alih-alih merayakan imlek.

Kendati tidak seramai biasanya, Chris mengaku perayaan utama Imlek seperti bagi-bagi angpao dan sembahyang tetap dilakukan. Kelenteng Pao Hwa Kong di Ampenan, tempat Chris dan keluarganya bersembahyang, merupakan salah satu kelenteng tertua di Lombok. Terletak di dekat bibir pantai, kelenteng ini diklaim telah berusia 120 tahun. Dibangun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kelenteng ini dipercaya merupakan salah satu saksi sejarah perkembangan pecinan di daerah Lombok.

Meskipun demikian, ketika penulis mengingat perayaan Imlek yang meriah beberapa tahun lalu, tanpa disadari sunyi Imlek tahun ini membuat penulis merasa sedih. Euforia Imlek di Cakranegara adalah salah satu saat yang ditunggu-tunggu, namun tahun ini perayaan Imlek di Cakranegara tampakbegitu berbeda. Tidak hanya penulis, daya tarik perayaan Imlek bahkan menjadi magnet tersendiri bagi warga non-Tionghoa lainnya untuk sekadar melihat dan ikut turut serta merasakan kemeriahan Imlek dalam guyuran cahaya lampion-lampion merah yang digantung sepanjang jalan Pejanggik di Cakranegara.

Terlepas dari tidak adanya perayaan seperti pada tahun-tahun sebelumnya, pada akhirnya, penulis sepakat bahwa Imlek bukan hanya dinilai dari letupan kembang api atau deretan lampion-lampion dan pagelaran barongsai atau banyaknya angpao-angpao yang didapatkan. Lebih dari itu, Imlek juga merayakan kebersamaan bersama keluarga yang semestinya bertambah erat seiring bertambahnya jumlah tahun. Selama semangat ini masih berkobar, Imlek akan selalu ada di dalam rumah dan tradisi kita semua, dengan atau tanpa perayaan yang meriah.

Teks dan foto: Mutia Putri