Cuaca cerah mengiringi tapak langkah saya di Mount Buffalo, musim dingin baru datang seminggu sebelumnya, salju masih malu-malu, tipis saja di tanah. Opsi ke Mount Buffalo sebenarnya opsi kesekian dari pilihan bermain salju saat musim dingin di sekitaran Melbourne. Namun, rupanya opsi yang kesekian tersebut justru jadi opsi utama, jadilah saya berkendara lima jam dari Melbourne yang penuh gedung tinggi, menuju jajaran pegunungan yang berselimut salju musim dingin.
Titik mula perjalanan ke Mount Buffalo bermula dari Bright. Kota kecil di area high country Victoria memanglah menjadi perlintasan para wisatawan yang ingin menikmati salju. Dari Bright, wisatawan bisa memilih melanjutkan perjalanan ke Mount Hotham, Falls Creek, Dinner Plains atau tujuan saya, Mount Buffalo. Bright yang di awal musim dingin masih menyisakan sisa-sisa kemegahan merahnya musim gugur memanglah kota yang syahdu, penuh bangunan tua dan tenang sekali suasananya.
Untuk naik ke Mount Buffalo, tidak ada biaya masuk, cukup berkendara dengan mobil sembari santai menikmati angin musim dingin. Saya menyewa rantai roda di Porepunkah, kota kecil sebelum jalan utama ke Mount Buffalo seharga 26 dolar untuk satu hari masa sewa. Himbauan untuk wajib membawa rantai roda sudah dipajang besar-besar di area jalan menuju Mount Buffalo, wajibnya setiap pengunjung berbekal rantai roda ini demi keselamatan perjalanan pengunjung itu sendiri.
Dari Porepunkah menuju Mount Buffalo kira-kira saya tempuh selama 50 menit. Itupun sudah santai sekali, tidak kencang, sembali menikmati mobil menembus jalan, bersisian dengan rapatnya pepohonan dan berteman tebalnya kabut di sepanjang jalan. Ada satu perhentian check point dengan petugas jagawana yang memberhentikan satu demi satu mobil pengunjung yang akan naik ke Mount Buffalo, si jagawana sendiri saja, saya sekilas melihat bungkusan berisi croissant di kursi jaganya. Ketika giliran saya diperiksa, si jagawana hanya bertanya dari mana dan sudah bawa rantai belum, lalu kami melenggang lepas.
Ada beberapa titik perhentian di Mount Buffalo, tetapi karena trip ini bukan trip ambisius, hanya trip santai, maka rencananya hanya akan berhenti di satu dua tempat saja demi menghemat waktu.
Tiga perempat jalan ke puncak Mount Buffalo, saya berhenti di pinggiran Danau Catani untuk berfoto sebentar. Jika tidak musim dingin, pinggir danau ini akan penuh orang berkemah. Area ini memang salah satu area di Mount Buffalo yang mana para pengunjung diizinkan untuk berkemah. Suasana Danau Catani cukup hening, pantulan mentari di permukaan danau yang tenang tampak rapi jali. Pun demikian dengan salju yang syahdu di tepian danau membuat danau ini menjadi tempat yang tepat untuk menenangkan diri.
Sebentar saja di Danau Catani, saya bergegas untuk terus naik ke atas, menuju parkiran serba luas yang letaknya tak jauh dari puncak utama Mount Buffalo, The Horn. Sayangnya setibanya di area atas Mount Buffalo, jalan menuju The Horn susah sekali dilalui karena salju yang tebal. Sebuah kenihilan untuk mencapai puncak paling monumental dari Mount Buffalo.
Tak ingin sia-sia sudah tiba di area salju, saya melihat jalur lain yang memungkinkan untuk dijelajahi. Walau musim dingin baru mulai seminggu, tetapi rupa-rupanya sajlu di atas gunung lebih mencengkram erat daripada di sisi bawah seperti Porepunkah atau Brighgt.
Akhirnya ada satu puncak lagi yang bisa dinaiki, Cathedral. Puncak ini tak lebih tinggi dari The Horn, tetapi jalurnya yang terjal nan terdiri dari formasi batuan membuat penjelajahan puncak Cathedral sedikit banyak cukup memompa adrenalin. Tak kurang berulangkali saya terpeleset karena tak mendapat pijakan yang kokoh untuk mendaki ke atas yang akhirnya dengan segenap susah payah saya menuntaskan pendakian Puncak Cathedral dalam waktu satu setengah jam perjalanan.
Dari puncak Cathedral, sejauh mata memandang tampak hamparan salju di jajaran Pegunungan Alpen Victoria yang gagah. Pada awal musim dingin ini, salju belum rata menyapa, tetapi petualangan menikmati area pegunungan dan high country merupakan sajian utama musim dingin yang tak bolejh dilewatkan.
Teks dan foto: Farchan Noor Rachman