Pendatang Perempuan Harus Mandiri

Saya tiba di Australia pada 1969, setelah tinggal selama dua tahun bersama suami yang menjadi Kepala Dinas Kesehatan Sumba Barat. Suami saya David Mitchell adalah sukarelawan yang menjadi PNS dan bertugas di Waikabubak. Sumba kemudian menjadi obyek riset Ph.D saya. Pulau ini belum banyak dikenal padahal Sumba adalah pemilik budaya batu besar (megalithic culture) yang masih bertahan dan memiliki sistem kekerabatan yang unik. Hanya ada empat suku di dunia yang sejenis: Sumba, Batak, Purum (India), dan Kachin (Burma). Riset itu kemudian diterbitkan menjadi buku rujukan penting tentang Sumba, “Hierarchy and Balance: A Study of Wanokaka Social Organization”.

 

Saat saya tiba pertama kali, baru ada dua kampus, Melbourne Uni dan Monash yang baru saja didirikan. Saya banyak dibantu oleh Prof. Herbert Feith yang memperkenalkan saya dengan perpustakaan Monash dan Centre of Southeast Asian Studies, serta, Contemporary Indonesia Study Group. Saya menjadi Co-Convenor kelompok kajian ini bersama Barbara Hatley. Saya mulai terlibat dalam kegiatan politik Australia, misalnya ikut demonstrasi anti perang Vietnam. Sikap anti-Asia saat itu masih kuat sekali, maka pada 1986 saya ikut mendirikan Asian-Australian Resource Centre dan akitf melakukan advokasi.

 

Mendapatkan makanan Indonesia tentu sangat sulit, termasuk bumbu-bumbu. Kawan-kawan berkreasi membuat kecap dengan cara mencampur vegemite dan gula. Hanya ada toko Tionghoa di Little Bourke yang menjual bumbu Asia dan orang Belanda yang menjual sambel uleg di Springvale. Tapi untuk mencapai kedua tempat itu tidak mudah karena public transport masih jarang. Maka kami sering mengandalkan kiriman dari warga yang pulang atau baru datang dari Indonesia. Hikmahnya kami bisa lebih cepat menyesuaikan dengan budaya makanan setempat. Sejak 1975, setelah pengungsi Vietnam berdatangan, mulai mudah mendapatkan bumbu. Mereka yang pernah tinggal di Pulau Galang, berhubungan baik dengan pendatang Indonesia. Mereka merasa diperlakukan sangat baik selama transit di sana. Tak heran jika Pulau Galang dinilai sebagai penampungan pengungsi terbaik.

 

Saya mengajar Bahasa Indonesia di Loreto Convent dan Melbourne Uni, sekalipun saya tak berijazah sarjana pendidikan, tetapi saya punya mengalaman mengajar di SMA saat di Jakarta. Waktu itu guru-guru bahasa Indonesia sangat diperlukan karena banyak sekolah menengah yang mengajarkannya. Saya kemudian menjadi translator dan interpreter yang pada 1978 resmi mendapatkan pengakuan dari NAATI (National Accreditation Authority for Translators and Interpreters).

 

Tuti Gunawan-OZIP
Pakar adat Sumba Tuti Gunawan, Ph.D

Saya juga aktif dalam Ikatan Warga Indonesia di Victoria (IKAWIRIA). Melalui organisasi ini, pada 1987 kami ikut serta mendirikan Commonwealth Employment Scheme yang diluncurkan oleh pemerintahan Bb Hawke & Paul Keating. Tujuannya untuk mencarikan pekerjaan bagi warga yang sudah tinggal lama tetapi belum mendapatkan pekerjaan. Kami melatih sejumlah warga asal Indonesia hingga mereka bisa bekerja. IKAWIRIA juga mendirikan Sekolah Indonesia dan mengajarkan Bahasa Indonesia setiap Sabtu petang. Lalu merintis Radio Kita sebagai bagian dari radio komunitas 3ZZZ FM.

 

Tak semua pendatang Indonesia di Australia bernasib mujur. Bagi perempuan yang menikah dengan warga lokal atau pendatang non-Indonesia, cukup banyak yang mengalami KDRT( Kekerasan dalam Rumah Tangga). IKAWIRIA berusaha mendampingi mereka, baik dalam persidangan maupun menghubungkan mereka dengan lembaga-lembaga yang dapat memberikan perlindungan. Korban KDRT biasanya perempuan yang kurang bergaul dan tidak mandiri. Hidupnya sangat tergantung kepada pasangannya.

 

Bagi perempuan Indonesia yang mengalami KDRT, segeralah hubungi IKAWIRIA. Usahakan agar punya kontak sesama warga Indonesia agar bisa saling membantu saat dibutuhkan. Dalam amatan saya, perempuan yang bergaul secara luas, jarang mengalamai KDRT. Suami pelaku KDRT hanya berani kepada perempuan yang terkungkung dan tak berdaya.

 

Kepada orang tua yang mempunyai anak, saya sarankan agar kepada anak yang laki-laki ditekankan pentingnya menghormati dan menghargai perempuan. Sementara untuk anak perempuan agar belajar mandiri (independen) dan bela diri (martial arts) agar terhindar dari pelecehan dan KDRT.

 

Setelah pensiun, saya masih ingin tetap aktif. Saya punya rasa ingin tahu yang banyak sehingga ingin hidup lebih lama. Saya ingin membuat dunia sedikit lebih baik lagi. Memayu hayuning buwono, kata orang Jawa. Saya beruntung mendapat pendidikan dan hidup yang baik, jadi saya ingin membantu orang lain juga. Untuk itu saya harus tetap bekerja dan beraktivitas.

 

Kontak IKAWIRIA:

Iman Santosa (Ketua)

E: isanmy@gmail.com