Apa yang terbayang di benak Anda jika harus kembali awal 1970-an di Australia? White Australia Policy yang diterapkan sejak 1949 masih berlaku, karenanya sikap rasis masih kuat terasa. Tak ada Indonesian groceries atau restoran yang menjual gudeg. Menemukan bumbu masakan saja sangat sulit. Untuk mendapatkan rasa kecap misalnya, terpaksa mencampur vegemite dengan gula merah. Hidup di negeri Kangguru pada periode itu sungguh penuh perjuangan. Tetapi semua ada hikmahnya. Pendatang Indonesia dipaksa beradaptasi cepat dengan budaya lokal dan bergaul dengan tetangganya yang bule. Periode itulah yang sesungguhnya menjadi fondasi hubungan antarwarga (People to People) Indonesia dan Australia, ketika pendatang Indonesia hidup tanpa sekat dengan penduduk lokal.
Setelah Perdana Menteri Gough Withlam mencabut White Australia Policy pada 1973. Australia mulai membuka diri terhadap pendatang dari tetangga Asia mereka. Pada 1975 pendatang Asia mulai datang dalam gelombang besar, terutama pengungsi Vietnam yang terusir dari negaranya. Kedatangan orang Vietnam ini membawa berkah bagi warga asal Indonesia. Mereka menanam bumbu-bumbu dan sayuran yang yang sama dengan kebutuhan warga Indonesia.
“Mereka yang pernah tinggal di Pulau Galang, berhubungan baik dengan pendatang Indonesia. Mereka merasa diperlakukan sangat baik selama ditampung di sana,” ujar Tuti Gunawan, penerjemah dan interpreter yang memiliki banyak sahabat asal Vietnam.
Tak pelak lagi, jumlah pendatang gelap di Australia pun kian membengkak, termasuk yang berasal dari Indonesia. Istilah popular yang dipakai saat itu adalah orang-orang “underground” alis pendatang gelap.
Melalui kebijakan amnesti bagi para underground ini, jumlah warga Indonesia bertambah dengan signifikan. Mereka ikut merasakan keistimewaan baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Anak-anak bebas beaya sekolah dan kuliah. Pemeriksaan kesehatan pun gratis. Kenaikan upah dan pelonggaran pinjaman kredit dari bank membuat pendatang Indonesia bisa memiliki rumah dan mobil sendiri. Organisasi yang berhubungan dengan Indonesia bermunculan. Ada AIA (Australia Indonesia Association) Victoria, Ikatan Warga Indonesia di Victoria (Ikawiria), Persatuan Warga Indonesia di Victoria (Perwira), dan lain-lain. Promosi budaya Indonesia mulai intensif dilakukan.
Bagi pendatang yang bekerja di lembaga Australia, proses menjadi penduduk tetap lebih mudah lagi. Seperti yang dialami Rabin Hardjadibrata yang bekerja di Monash Uni sejak 1964. “Setahun setelah saya bekerja di sini, petugas dari pemerintah mendatangi saya dan mengatakan, Anda sudah terdaftar sebagai permanent resident. Tentu saja saya terima dengan gembira,” ujar penulis Kamus Sunda-Inggris itu.
Kini Australia melangkah lebih jauh lagi dengan Asian Century White Paper (2013) untuk menyongsong Abad Kebangkitan Asia. Namun, di sisi lain, hubungan Indonesia Australia tetap naik turun. Yang terakhir dan masih hangat adalah kasus penyadapan telepon Presiden dan Ibu Negara Republik Indonesia. Akibat kasus itu Indonesia protes keras dengan menarik Duta Besar Najib Riphat Kesoema dari Canberra dalam waktu yang cukup lama.
“Hubungan Indonesia dan Australia itu memang naik turun dan selalu ada kecurigaan,” ujar Frank Halim, mantan CEO perusahaan multinasional Invensys. “Pemerintah Australia berganti secara teratur antara pemerintah kiri (Parati Buruh) dan kanan (Partai Liberal) dan proses demokrasi berjalan stabil. Sementara proses demokrasi yang benar-benar bebas di Indonesia berlangsung belum lama,” lanjutnya.
Hal itulah yang membuat cara pandang kedua negara terhadap sebuah persoalan kerap berbeda. Sikap massa kedua Negara juga memiliki peran yang sangat besar pada pasang surut hubungan ini. Pada masa Orde Baru, wartawan kawakan Hidayat Djajamihardja mencatat, hubungan kedua negara sangat diwarnai oleh media massanya.
“Saat itu, media di Indonesia terkungkung oleh budaya telepon. Kalau salah tulis atau salah siar, silakan tunggu telepon dari BAIS atau Bakin,” ujar mantan jurnalis radio ABC itu. Sementara di Australia, media berkejaran memburu berita paling “juicy” tentang Pak Harto, keluarga Cendana atau ABRI. Dan setiap berita dari Australia tentang isu-isu tadi, selalu ditanggapi dengan reaksi sangat luar biasa kerasnya. Hal itulah yang akhirnya menjadi warna asli hubungan Jakarta-Canberra kalau sedang dirundung perasaan “down”.
“Meminjam istilah remaja, hubungan Indonesia dan Australia itu seperti pasangan yang selalu dirundung love and hate relations. Sehari hangat, di hari lain dingin,” sambungnya.
Apa sebenarnya keuntungan yang bisa “dipetik” oleh warga Indonesia dari Australaia? Menurut Frank, Australia adalah “negara bule” terdekat, dimana sistemnya lebih teratur, rul of law berjalan baik, dan ada kedisiplinan. Hal tersebut baik untuk dipelajari dan diterapkan dalam proses pembangunan Indonesia. Para pelajar harus bisa memetik pengetahuan tersebut untuk diterapkan dalam budaya kerja di perusahaan atau kampus di Indonesia.
Sementara para senior yang memiliki pengetahuan mendalam tentang budaya kerja Australia, bisa mentransfer pengetahuan itu untuk kemajuan budaya kerja di Indonesia. Dengan adanya wadah Indonesian Diaspora Network (IDN), proses transfer pengetahuan dan pengalaman itu diharapkan dapat tersalurkan untuk peningkatkan produktivitas di tanah air. Melalui cara itulah perjuangan para pendatang Indonesia di Australia akan semakin dirasakan manfaatnya. Jauh di negeri orang, di lubuk hati para pendatang itu tetap bergelora satu tekad, mengabdi untuk nusa dan bangsa, berbakti untuk tanah air, ikut membangun kampung halaman.
Merdeka!