Alkisah, setelah selesai makan siang bersama, seorang pemuda bersama seorang teman kantornya berjalan santai menyusuri jalanan. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, seorang perempuan tua berpakaian sederhana menghampiri mereka sambil menenteng beberapa kantong plastik berisi sayuran.
“Maaf Nak, mau beli sayuran ini? Saya sendiri yang menanam dan memetiknya lho,” kata si nenek penuh harap, sambil tangan keriputnya mengulurkan beberapa kantong plastik berisi sayur mayur. Setelah menatap si nenek sebentar, tanpa basa-basi, teman pemuda itu langsung mengeluarkan dompet dan membayarnya. Tiga kantong plastik sayuran pun berpindah tangan.
“Terima kasih, semoga kalian semua diberi kelancaran dalam rezeki,” dengan suara bergetar terharu si nenek menggenggam erat uang jualannya.
Setelah nenek itu berlalu, si pemuda bertanya keheranan kepada kawannya, “Kamu benar-benar mau makan sayur ini? Kamu lihat sendiri kan, sayur itu sudah layu dan mulai kuning. Ada ulatnya, lagi.”
Sambil mengamati kantong-kantong sayuran yang baru dibelinya, temannya itu menjawab, “Ya, kamu benar, sayuran ini kelihatannya memang kurang layak dimakan.”
“Lho, tadi kenapa kamu langsung beli?”
“Karena kalau aku tidak membelinya, sepertinya tidak akan ada orang yang mau membelinya. Kasihan si nenek nggak dapat penghasilan.”
Pemuda itu terhenyak kagum atas kebaikan temannya itu. Segera ia berbalik mengejar si nenek untuk melakukan hal yang sama.
Sambil berlinang air mata, nenek penjual sayur berucap, “Anak muda, terima kasih. Nenek tahu, kalian membeli sayur ini, mungkin karena kasihan melihat nenek. Sayurannya memang kurang segar. Tapi kalau bukan kalian, tidak ada yang mau membelinya. Uang ini sungguh sangat berarti untuk membeli obat untuk cucu nenek yang sedang sakit. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.”
Dear Readers,
Sayuran yang kurang segar pun ternyata mampu memberi pelajaran berharga untuk kita semua. Saat jatuh dan terpuruk, kita sungguh berharap “keajaiban” akan datang kepada kita, alias mendapatkan pertolongan—entah dari mana atau dari siapa.
Namun sebaliknya, ketika kita punya kemampuan, ketika kita sukses atau berkecukupan, apakah kita bersedia menjadi orang yang mendatangkan “keajaiban” itu? Apakah kita mau mengulurkan tangan dan berbagi kepada sesama yang memerlukannya?
Dalam kehidupan sekarang ini, memang terasa sulit menemukan orang yang membantu orang lain tanpa ada keinginan untuk menerima balasan. Namun sebenarnya, saya kira, esensi kehidupan manusia adalah saling bantu-membantu, menolong, dan ditolong.
Sesederhana apa pun itu, sekecil apa pun, asal dilakukan dengan tulus dan ikhlas, pasti akan menumbuhkan kebaikan demi kebaikan. Malah sering kali, jika bisa berbuat baik dan membantu orang lain sesuai dengan yang dibutuhkan, akan terasa rasa yang nikmat sekali. Tentu, untuk konsisten berbuat baik dan membantu orang lain dibutuhkan kesadaran, latihan, dan membiasakan diri terus-menerus.
Saya menutup tulisan ini dengan kata mutiara yang sering saya bagikan, “Kadang memang sulit menjadi orang baik, tetapi lebih baik menjadi orang baik walaupun sulit.”
Salam sukses luar biasa!
Andrie Wongso