Pemutaran Film Sendiri Diana Sendiri sebagai perayaan Hari Kartini 2018

Kartini masih dan akan terus melambung namanya, jauh sampai di kemudian hari. Barangkali itulah yang akan terbesit dalam benak kita saat nama Kartini terucap. Tidak hanya memperjuangkan hak-hak dan emansipasi perempuan, Kartini berjuang dalam melawan kesendirian dan kesepiannya di masa kekuasaan kolonial di balik penjara rumahnya yang menghimpitnya selama belasan tahun. Ia dipandang tidak hanya sebagai perempuan yang sarat akan identitas domestik dan kolot, yakni memakai kebaya, konde, dipingit, lalu dinikahkan secara paksa, namun juga sebagai pahlawan Indonesia yang menentang keras penjajahan, terutama terhadap kaum perempuan. Menganggap hal tersebut relevan dengan keadaan Indonesia masa sekarang, komunitas masyarakat Indonesia yang peduli terhadap kebangsaan dan kebhinnekaan Indonesia mengadakan sebuah acara guna mengenang kembali sosok dan jasa kartini dalam peringatan Hari Kartini tanggal 21 April lalu.

Forum Masyarakat Indonesia di Australia (FMIA) mengadakan diskusi dan nonton film berjudul “Sendiri Diana Sendiri” di KJRI Melbourne, Jumat 20 April lalu. Film pendek berdurasi 40 menit yang disutradarai oleh Kamila Andini ini mengangkat isu poligami dengan didukung kuat oleh akting para pemain dan penuturan subtil oleh sang sutradara. Film ini mengajak Rayhaanun, artis Indonesia sebagai pemain wanita utama. Dalam kesempatan itu, para penonton juga sempat berdiskusi dengan Rayhaanun melalui media Skype dan membicarakan seputar pembuatan film Sendiri Diana Sendiri.

Film tersebut menceritakan tentang seorang perempuan, istri sekaligus ibu, yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah yang dipoligami oleh suaminya tanpa alasan yang jelas. Alih-alih menyulutkan amarah dan berontak terhadap keputusan sang suami untuk memadunya, ia bersikap teguh, menahan amarah yang bergejolak dalam jiwanya yang hampir tidak bisa ia tunjukan di hadapan suami dan keluarganya.

Setelah pemutaran film, diskusi renyah mengenai isu perempuan berlangsung dengan hangat bersama Soraya Permatasari sebagai moderator acara dan dua pembicara yakni Hamim Jufri, Ketua Perwakilan Muhammadiyah di Melbourne dan Yuni Asriyanti, seorang penggiat pembela hak-hak asasi manusia sekaligus mahasiswa master di University of Melbourne. Diskusi semakin memanas kala itu lantaran membahas tentang fenomena poligami serta kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Perempuan seharusnya memiliki hak-hak yang dapat dipandang dan mendapat kesempatan yang sama tanpa harus dilemahkan, tutur Ibu Spica Tutuhatunewa, Konsulat Jendral Indonesia di Melbourne dalam pidato pembukaan acara pemutaran film tersebut. Kita harus dapat meneladani nilai-nilai yang telah diperjuangan oleh Kartini serta memikirkan kembali nilai apa yang dapat kita nikmati sampai sekarang. Sudahkan kita meneladani perjuangan kartini? Menjaga nilai-nilai yang ia tinggalkan?

Ibu Spica melanjutkan bahwa semua orang mendapat kesempatan dalam pendidikan, mengutarakan pendapat, menggunakan suaranya sebagai warga negara, baik laki-laki atau perempuan.

Nudia Imarotul Husna