Setelah seminggu di Bali sendiri dan setiap pagi berendam di pantai Sanur menunggu terbitnya sang matahari, pada tanggal 18 Desember 2017, dengan bis carteran saya berangkat dari Puri Yuma ke Surabaya untuk menemui sang istri dan merayakan Ultah Perkawinan yg ke 20. Setiap kali di Indonesia dan dalam perjalanan jauh, saya selalu duduk di samping si pengemudi dengan pertimbangan bisa melihat pemandangan lebih banyak dari sudut yang lebih luas lebih dari 180 derajat, plus sport jantung kalau si pengemudi mengendarai kendaraannya ugal-ugalan dengan kecepatan tinggi.
Sehari setelah perayaan ulang tahun perkawinan, kami meninggalkan Surabaya menuju Yogyakarta dengan mobil sewaan yang dikendarai oleh salah seorang keponakan, menelusuri pantai utara pulau Jawa dengan pemandangan yang indah sekali. Sampai di Rembang tiba-tiba sang istri mungkin ‘merasa lebih Kartini’ tiba-tiba ngeletuk: “ Kita sudah sampai di tempat R.A. Kartini kenapa gak singgah sekalian?’ Ya, akhirnya kami belok kiri dan menuju tempat Kartini tinggal dan dimakamkan. Dan ternyata memang tidak jauh dari Jl. Raya Rembang-Blora, Bulu, Kabupaten Rembang . Sesampai di sana terlihat patung Kartini dan suasana pikiran kita diajak ke zaman tahun 30an.
Kemudian kami masuk ke makam Kartini dan ternyata ada beberapa makam keluarga di tempat yang sama. Kira-kira ada 10 – 15 makam dan makam Kartini ada di tengah-tengah. Rasa haru dan pikiran yang berkecamuk betapa hebatnya putri Indonesia yang bernama Kartini yang mencoba mendobrak sistim dengan cara yang halus meminta kepada suaminya sebagai salah satu syarat sebelum pernikahan untuk mendirikan sekolah untuk anak-anak.
Tapi ada kejanggalan yang terasa. Area pemakaman yang bersih dan terurus rapi TAPI rumah tempat tinggal R.A. Kartini tidak terurus dan kotor. Aneh, kenapa tempat pemakaman bersih dan terurus tapi rumahnya tidak terurus dan kotor? Tidak ada biaya atau memang ongkos pemeliharaanya tinggi sekali? Merasa frustasi dan kecewa dan ingat semboyan yang masih terngiang di telinga suara Bung Karno ‘bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai para pahlawan-pahlawannya’. Tapi kenyataannya bertolak belakang.
Tentu dengan semakin luasnya otonomi daerah masalah uang bukan persoalan besar apalagi hanya untuk memelihara rumah tempat tinggal salah seorang pahlawan wanita yang setiap tahun dirayakan oleh semua manusia Indonesia yang berjumlah 250 juta! Kalau seandainya rumah dan pemakaman Kartini bersih dan terurus seperti pemakamannya pasti akan bisa menjadi salah tempat tujuan para wisatawan dunia.
Apa yang bisa kita lakukan? Menulis petisi kepada Bupati Rembang? Atau menulis surat ke Presiden Joko Widodo yang sedang sibuk-sibuknya membangun infrastruktur demi masa depan Indonesia yang lebih baik? Atau semua organisasi yang cinta Indonesia di Victoria khususnya dan Australia pada umumnya untuk membuat suatu petisi kepada pemerintah Indonesia untuk memperhatikan dan memugar rumah R.A. Kartini?
Pulang ke Melbourne dengan perasaan sedih dan bertanya kepada diri sendiri: “ Kok bangsa yang ‘pernah’ besar menyia-nyiakan rumah salah seorang pahlawannya? Sedih!
Anton Alimin