Kolom Bahasa – Kan? I? Sengaja? Siapa yang tahu?

Kolom Bahasa#OZIP
Kolom Bahasa OZIP, oleh Dewi Anggraeni.

Dewi Anggraeni

Dalam era serba cepat serba jadi ini, penggunaan Bahasa pun turut hanyut ke dalamnya. Apalagi kalau kita melihat komunikasi elektronik di ranah surat elektronik (email) dan teks singkat (sms) via telepon seluler. Contohnya, ‘mana jwbn prtnynku? blm smpt ya?’, ‘tlng ajarin aku cara ngeblk di fb.Tq’. Masih adakah orang yang menuliskan atau mengetikkan kata-kata serta kalimat-kalimat lengkap? kita bertanya-tanya. Untung masih ada, malah masih banyak yang piawai dalam merangkaikan kata-kata dalam prosa yang mengalir, meliuk, memancar, sehingga menggairahkan pembacanya.

Melahirkan prosa yang mengalir dan menggiurkan tentunya bukan sekedar minum teh. Untuk itu kita perlu mengasah keterampilan berbahasa kita. Dan bahasa yang efektif harus didasarkan pada rangkaian tata bahasa yang benar, yang tidak membuat pembaca bertanya-tanya, ‘Ini maksudnya bagaimana, ya?’

Dewi Anggraeni#OZIP
Dewi Anggraeni.

Ambil contoh penguasaan pemakaian awalan dan akhiran, belum lagi sisipan. Kali ini, mari kita berfokus pada akhiran. Kita kenal akhiran ‘kan’ dan ‘i’ dalam bahasa kita, yang dalam bahasa gaul keduanya menjadi ‘in’. Dalam garis besarnya memang mudah diingat. Kata kerja dengan akhiran ‘kan’ menggerakkan objeknya. Umpamanya, ‘Kamu sudah memasukkan buku sejarahmu ke dalam tas?’. Dengan kata kerja berakhiran ‘i’, subjeknya yang bergerak. Umpamanya, ‘Nia mulai melangkah memasuki ruang yang gelap itu.’ (Eng ing eng …).

Masalahnya, dalam praktek berbahasa, selalu ada pemakaian yang luar biasa, dalam bahasa sehari-harinya, melenceng dari garis besar di atas.

‘Kan’ bisa muncul dalam penggunaan agak berbeda. Umpamanya dalam kata kerja ‘beli’. Simak percakapan berikut:

‘Aku membeli buku.’

‘Kau membelikan siapa?’

‘Anabel.’

‘Siapa’ bukan objek langsung atau pelengkap penderitanya, tetapi objek penerimanya. Akhiran ‘kan’ dalam kalimat ini membuat objek langsungnya, ‘buku’, tidak perlu disebutkan. Artinya, ‘Kau membeli buku itu untuk siapa?’

Contoh penggunaan akhiran ‘i’ yang melenceng dari formula di atas:

Percakapan Kepala sekolah dan penjaga sekolah baru:

‘Min, jangan lupa tugasmu sebelum pulang.’

‘Tidak lupa Pak. Saya akan menutupi semua jendela di semua ruang kelas.’

‘Bagus.’

Lho? Jadi Amin akan berdiri dan dengan tubuhnya menghadang di depan semua jendela?

Bukan begitu artinya. Akhiran ‘i’ di sini mengandung artian ‘mengulangi’ perbuatan kata kerja, berkali-kali. Maksudnya, ‘Saya akan menutup jendela di ruang-ruang kelas, satu demi satu, sampai semua tertutup’.

Namun pemakaian akhiran ‘i’ seperti ini tidak bisa global, karena dalam kata-kata kerja tertentu, bisa gawat akibatnya. Umpamanya, dalam pelantikan menteri, mereka satu-satu disumpah oleh Presiden. Di koran:

‘Presiden dengan wajah serius menyumpahi menteri-menterinya yang sudah siap berdiri berjejer di hadapannya.’

Pemakaian akhiran ‘i’ pada kata kerja ‘tidur’ juga agaknya tidak perlu, kecuali memang penulis ingin menyuntik sedikit ambiguitas ke dalam adegan yang dilukiskannya. Kalimat berikut sama sekali tidak ambigu:

‘Tidak Pak, saya tidak pernah meniduri ranjang itu.’ Mungkin dengan implikasi, ‘Kalau ada kutunya, saya tidak tahu.’

Namun kalau ditambah suatu nama, pembaca bisa mulai bertanya-tanya:

‘Tidak Pak, saya tidak pernah meniduri ranjang Tini.’ Apalagi kalau kata ‘ranjang’ hilang.

Ini mengingatkan saya pada masa plonco saya (seratus tahun lalu). Suatu pagi saya terlambat bangun. Ketidaksengajaan biasanya kita utarakan dengan menggunakan kombinasi awalan ‘ke’ dan akhiran ‘an.  Karena itu waktu melapor kepada senior yang berwajah galak, saya mengaku,

‘Maaf senior, saya ketiduran’.

Si senior membentak: ‘Kamu ketiduran, atau ditiduri?’

Eh?