Keberangkatan – Lebih dari Kisah Cinta

Keberangkatan oleh Nh Dini jauh melampaui ekspektasi dan harapanku. Ketika pertama kali aku belajar tentang novel itu, melalui mendengar sebuah cuplikan darinya, aku pikir ia akan ‘sekedar’ bercerita tentang hak dan posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia. Meskipun kedua tema merupakan tema besar dalam novel itu, tapi ada tema ketiga yang tidak boleh diabaikan: penelusuran jati diri.

Kendati judulnya, Keberangkatan oleh Nh Dini lebih terfokus ke perjalanan seorang perempuan kembali ke asal-usulnya. Tokoh utama Keberangkatan adalah Elisa Frissart, seorang wanita peranakan–atau ‘anak Indo’–keturunan Belanda. Kita menyaksikan kehidupan Elisa pasca revolusi Indonesia, di saat kecurigaan terhadap warga Eropa cukup kental, dan perjuangannya untuk diterima oleh masyarakat Indonesia. Meskipun seluruh keluarganya mengungsi ke Belanda, Elisa memilih untuk menetap di nusantara. Keputusannya memberi Elisa kesempatan untuk mendalami kebudayaan dan masyarakat Indonesia, tetapi juga membawa kesakitan kepada dirinya.

Elisa mempunyai impian untuk menikah dengan seorang Jawa, berakar dari keinginannya untuk berasimilasi dengan orang-orang Indonesia. Selain itu, Nh Dini menggambarkan tekanan sosial untuk kaum perempuan dalam Keberangkatan: sebagai seorang perempuan, Elisa merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain demi kebaikan masa depannya. Harapan Elisa pun nampak tercapai ketika dia jatuh cinta pada Sukohartijo, atau “Jito”, seorang lelaki Solo yang kelihatan baik dan setia. 

Tetapi, jangan salah paham. Keberangkatan lebih dari sekedar kisah cinta. 

Lingkaran teman Elisa memiliki peran signifikan dalam novel Nh Dini. Ada Lansih, seorang perempuan cerdas, praktis, dan realis yang bekerja dengan Elisa di GIA (Garuda Indonesia Airways), dan Gail, seorang wartawan Amerika Serikat. Merekalah yang membujuk Elisa untuk menjadi seorang perempuan mandiri, dan memberinya sayang dalam saat-saat sendu.  

Keberangkatan merupakan sebuah kisah pribadi lebih dari kisah cinta atau persahabatan. Pertanyaan-pertanyaan yang menghantui Elisa adalah pertanyaan mengenai asal-usulnya: orang tua Elisa tak pernah membicarakan masa lalu, dan ia hanya mampu mengingat sedikit dari masa kanak-kanaknya di Surabaya. Dikarenakan identitasnya sebagai warga peranakan, kehendak Elisa yang begitu kuat untuk memahami identitasnya sangat alami. Terdorong oleh rasa penasaran, Elisa bertemu dengan tokoh-tokoh dari masa lalunya, yang sampai saat itu hanya merupakan bayang-bayang dalam ingatannya. Mereka termasuk kakak perempuan Elisa yang meninggalkan keluarga mereka ketika Elisa masih kecil, dan Talib, seorang seniman dan teman lama keluarga Frissart yang mungkin merupakan ayah kandung Elisa. 

Penjelajahan Elisa memberinya ruang membangun pemahaman mengenai dirinya sendiri, bukan hanya sebagai seorang warga peranakan atau perempuan, tapi sebagai seorang manusia. Penjelajahan itulah yang membentuk kisah dalam Keberangkatan

Oleh karena itu, akhir cerita Keberangkatan sangat mengecewakan bagiku. 

Sang penulis menyingkapkan bahwa Sukoharjito bukanlah seorang pecinta sejati. Elisa, dengan patah hati, belajar tentang ketidaksetiaan pacarnya – ternyata, Jito berselingkuh dengan seorang putri pejabat Istana dan menghamilinya. Lalu, pria itu menjauhkan diri dari Elisa. Luka perempuan keturunan Belanda itu tidak terukur. Akhirnya, luka Elisa menjadi terlalu sakit untuk dihadapi, dan ia memutuskan untuk berpindah ke negeri Belanda. Masa depannya di Indonesia telah hancur bersamaan dengan impiannya untuk perkawinan. Ini merupakan keberangkatan Elisa.

Aku marah ketika pertama kali aku membaca akhiran ini: mengapa Elisa harus meninggalkan sebuah tanah yang ia kasihi begitu dalam? Dan ia, menurutku, juga belum menyelesaikan penelusuran jati dirinya. Tetapi, ketika aku menulis artikel ini, aku membaca ulang novel tersebut, dan barangkali Elisa harus menyelesaikan penelusuran itu di negeri keduanya. 

Meskipun aku tidak tahu banyak tentang Nh Dini, aku tahu beliau merupakan seorang petualang. Ia telah menghabiskan kebanyakan kehidupannya dalam petualangan. Tetapi, ia akhirnya kembali ke dan meninggal di kota lahirnya. Barangkali inilah yang akan terjadi dengan Elisa. 

Pada saat keberangkatan Elisa, Lansih mengucapkan kata-kata yang telah Elisa mendengar ‘berulang kali dari mulut’ kawannya: 

‘Hati tidak dapat patah. Apalagi hati laki-laki! Tarap paling rendah yang diderita penyakit hati adalah luka parah atau kelemahan oleh kelelahan menderita. Keduanya dapat sembuh. Karena luka selalu tertutup kembali oleh kulit yang baru dan sehat.’

Menariknya, Elisa bilang:

‘Mendengarnya hari itu, membuatku tenang dan tidak takut-takut menghadapi keberangkatan ke dunia baru.’

Ya, mungkin aku harus memikirkannya bukan sebagai pelarian, tetapi keberangkatan seperti yang dinamakan oleh sastrawannya. Kata-kata itu, ‘dunia baru’, juga krusial. Elisa tidak menyerah, dia tetap berjuang. Dan aku berpikir ia akan kembali pulang ke Indonesia suatu hari setelah perjuangannya selesai. 

Aku ingin menutupi ulasan buku ini dengan paragraf favoritku, yakni paragraf terakhir Keberangkatan:

‘Harinya lembab berhujan kecil. Langit kelabu menyatu dengan air yang berjatuhan. Basahlah tanah. Tanah yang telah berpuluh tahun menjadi tanahku. Kota di mana dua laki-laki mempunyai arti yang besar dalam hidupku. Dengan hati yang rawan tetapi terang, tanah dan kotaku kutinggalkan.’

Teks: Victoria Winata

Foto: Gramedia