Kemampuan Dina Wahyuni di bidang akademis tidak perlu diragukan lagi. Bukan hanya pernah mengenyam Masters of Business in Accounting di Monash University, Melbourne, ia juga melanjutkan program pendidikan PhD di bidang bisnis di University of South Australia di Adelaide. Selain itu, ia pun lulus program Graduate Certificate in Teaching and Learning (GCLT) di Swinburne University of Technology (SUT).
Bisa dibilang riset masternya yang mengangkat topik karbon emisi dan perdagangan karbon adalah salah satu pembuka jalannya untuk berkarier di bidang akademis di Australia. Riset ini berhasil menarik perhatian sehingga saat sedang menempuh studi PhD, ia pun ditawarkan untuk bergabung dengan tim Deakin University untuk melakukan riset tentang karbon manajemen dengan pendanaan dari permerintah Australia.
Setelah bekerja selama sekitar 10 bulan di Deakin University, Dina selanjutnya sukses mendapatkan posisi sebagai dosen Akuntansi di Swinburne Business School, SUT. “Tahun ini saya juga terlibat sebagai pengajar financial statistics bagi S1 business dan engineering,” beber Alumni Universitas Jember tersebut.
Sebagai pengajar Dina melihat bahwa tanggung jawab sebagai dosen di Australia maupun di Indonesia tidaklah jauh berbeda yakni sama-sama mencakup kewajiban mengajar, meneliti dan layanan pengabdian kepada masyarakat. Meski demikian, diakui bahwa etos kerja sebagai dosen di Australia cukup menantang.
“Di sini lebih disiplin. Misalnya, materi kuliah dan unit outline harus dipersiapkan jauh hari sebelum kuliah perdana dimulai,” kata Dina yang juga pernah menempuh Pendidikan Profesi Akuntan di Universitas Brawijaya.
Selain itu, perbedaan yang juga ia amati dalam proses pembelajaran adalah kebebasan berargumen. Dibandingkan dengan mahasiswa di Indonesia, menurutnya, siswa di Australia terbiasa berargumen. “Karena siswa terbiasa berpikir kritis dan berargumen, dosen juga harus siap,” terang perempuan yang juga aktif dalam kelompok Orkes Jawa Waton Muni (OJWM) ini.
Selanjutnya Dina bercerita latar belakang sebagai perempuan asal Indonesia justru kini menjadi nilai tambah bagi kariernya di negara maju. Setidaknya, ia lebih memiliki pemahaman praktis tentang negara berkembang.
“Menurut saya ini skillset khusus yang bisa berguna. Misalnya tentang kebijakan, kita bisa paham mengapa tingkat keberhasilan berbeda di negara yang berbeda dan hal ini berpengaruh dengan policy dan advocacy,” urainya.
Dengan skill-nya itulah Dina diberikan kepercayaan untuk mengajar maupun diundang sebagai dosen tamu, baik oleh kampus di Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia hingga Italia. Dina juga diundang untuk memberikan public lecture di KBRI di Abu Dhabi, UAE dan di Madrid, Spanyol.
Di luar kesibukannya mengajar, Dina juga terlibat aktif dengan serentetan penelitian dan sempat diundang oleh UNFCCC untuk berdiskusi di Bonn, Jerman untuk mempresentasikan penelitiannya mengenai perkembangan Clean Development Mechanism (CDM), carbon trading, dan membahas the education pathways of future carbon auditors and analysts.
Meski serentetan prestasi sudah dikantongi, Dina mengaku ingin terus melahirkan kontribusi, khususnya bagi Indonesia. Ia optimis jika potensi Indonesia dikelola dengan efektif dan efisien, target pertumbuhan ekonomi bisa tercapai tanpa mengorbankan lingkungan dan masyarakat.
Teks: Rahmatul Furqan
Foto: Windu Kuntoro & Dok. Pribadi