Krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998 tak membuka banyak peluang kerja bagi Amanda Achmadi yang saat itu baru saja menyandang gelar S1 Ilmu Arsitektur. Beberapa tahun kemudian, ia pun akhirnya memilih untuk hijrah ke Australia guna melanjutkan pendidikan masternya untuk Ilmu Desain Arsitektur di Melbourne University.
Keputusan itu berbuah manis. Tak lama setelah meraih gelar masternya, Amanda mendapat tawaran melanjutkan pendidikan doktoral di kampus yang sama. Bersamaan dengan usahanya menyelesaikkan pendidikan tersebut, ia pun memulai karier akademisnya sebagai seorang tutor.
“Awalnya saya menjadi tutor dan baru diangkat menjadi staff tetap, itu tahun 2008,” cerita Amanda ketika ditemui OZIP di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.
Sejak itu, karier Amanda di dunia akademis terus meroket. Belum lama ini, alumnus Universitas Parahyangan, Bandung ini pun dipromosikan sebagai senior lecturer dan fokus mengajar bidang Asian Architecture and Urbanism.
Kendati demikian, Amanda mengaku perjalanannya meniti karier tak lepas dari tantangan. Sebagai perempuan yang berasal dari negara berkembang, sempat ada beberapa pihak yang mempertanyakkan kualitasnya sebagai pengajar. Bahkan, pandangan seperti itu tak jarang justru datang dari mahasiswa internasional asal Indonesia sendiri.
“Kadang ada mahasiswa Indonesia yang masuk kelas saya dan mungkin berpikiran, kok jauh-jauh kuliah di Australia yang mengajar orang Indonesia juga,” kata Amanda.
Sebaliknya, menurut Amanda, latar belakang dirinya sebagai perempuan asal Asia justru menjadi keunggulan tersendiri. Ia bisa menjembatani dialog kebudayaan antara Australia dan negara-negara Asia dari kacamata atau sudut pandang arsitektur dan desain. Terlebih, saat ini, pembangunan di Asia sedang gencar dilakukan dan ini menjadi peluang market yang besar bagi dunia arsitektur.
“Justru dengan latar belakang saya sebagai orang Indonesia, saya punya pemahaman yang lebih mendalam soal negara-negara di Asia dan itu menjadi kelebihan saya,” ungkapnya.
Menurutnya, materi tentang arsitektur Asia, khususnya Indonesia yang ia kuasai menjadi sangat berharga. Mengabdi sebagai dosen di Australia juga menjadi kesempatannya untuk memperkenalkan materi tersebut, baik melalui materi pengajaran di kelas maupun melalui sejumlah penelitiannya.
“Misalnya, saya juga memperkenalkan materi tentang hubungan arsitektur dengan politik identitas di Indonesia,” lanjut ibu beranak satu ini.
Amanda berharap keberhasilannya menjadi akademisi di Australia bisa menjadi inspirasi bagi perempuan lain di negara berkembang bahwa pintu kesuksesan untuk mereka pun juga terbuka. Menurutnya, yang terpenting adalah terus mengasah kemampuan berpikir kritis karena itu pula yang menjadi dasar sistem pendidikan negara maju seperti Australia.
Kedepannya Amanda berharap bisa tetap memberikan kontribusi bagi Ibu Pertiwi. Salah satunya dengan terus menggagas terciptanya kolaborasi antara kampus di Australia dan di Indonesia.
“Harapannya keberadaan akademisi seperti kami di luar negeri bisa menjembatani kerjasama dengan akademisi di Indonesia. Sehingga, dunia pendidikan di Indonesia juga bisa terus terangkat di level internasional,” tutupnya.
Teks & Foto: Rahmatul Furqan