Gara-gara seorang perempuan tua buang angin ketika mengajukan pertanyaan kepada seorang ulama terkemuka di abad ke-9 di Baghdad, sang ulama akhirnya mendapat julukan “si tuli”.
Ulama yang terlahir sebagai Abu Abdurrahman Hatem akhirnya menyandang julukan /gelar sebagai Al-Asamm, yang dalam bahasa Arab artinya “si tuli”.
Bagi yang penasaran, berikut alur ceritanya:
Suatu hari, seorang perempuan tua menghampiri sang ulama untuk menanyakan suatu hal tentang Islam. Ketika mengajukan pertanyaan tersebut, sang perempuan tidak mampu menahan ulah bakteri dalam lambungnya, dan tidak lama kemudian, dirinya pun buang angin di depan sang ulama. Wajah perempuan tersebut pun merah padam karena malu dirinya buang angin di depan seorang ulama yang begitu masyhur.
Namun, Abu Abdurrahman Hatem bukanlah seorang ulama jika dirinya tidak berusaha untuk menyelamatkan seorang perempuan tua dari rasa malu atau aib tersebut.
Dirinya pun cepat berpikir dan langsung mendapat sebuah ide. Seraya mengangkat suaranya, dirinya mengatakan kepada perempuan tua itu agar berbicara lebih keras karena pendengarannya sudah tidak setajam seperti di masa lalu. Sang perempuan terselamatkan dari rasa malu dan Abu Abdurrahman Hatem, selama 15 tahun, terus berpura-pura bahwa dirinya memang pekak. Oleh karena itu, namanya pun ditambahi dengan julukan Al-Asamm – si tuli.
Suatu kali, begitu diriwayatkan, Khalifah II, Umar Ibn Khattab (ra), sedang berbincang dengan sembilan orang sahabat di dalam masjid. Tiba-tiba, bau yang tidak sedap menyenakkan hidung hadirin. Khalifah sangat gusar dan berang dan menghardik agar sesiapa yang telah buang angin itu langsung ke kamar mandi untuk kembali berwudhu (berwudhu adalah kewajiban bagi setiap Muslim untuk mencuci kedua tangan, berkumur, mencuci muka, kedua lengan sampai di atas siku, bagian depan kepala, kedua telinga dan kedua kaki ketika akan melaksanakan salat. Wudhu seseorang akan batal apabila dirinya buang angin, buang air kecil/besar dan bersetubuh). Seorang sahabat kemudian menyarankan kepada sang Khalifah agar mereka semua kembali berwudhu, demi menyelamatkan orang tersebut dari amarah sang Khalifa.
Tokoh yang pernah menjadi Presiden R.I., Abdurrahman Wahid (Allahyarhamu) alias Gus Dur, pernah bercerita kepada konco-konconya ketika dirinya berkunjung ke Universitas Monash.
Sebagaimana diketahui Almarhum memang punya segudang cerita humor untuk dibagikan.
Berikut salah satu cerita yang dikisahkan oleh dirinya:
“Suatu kali kami sedang kumpul dengan para kiai di sebuah pesantren. Tiba-tiba seorang kiai mengeluh karena perutnya terasa kembung. Walaupun telah digosok dengan minyak kayu putih, rasa kembung tetap terasa. Ternyata, itu merupakan angin duduk yang bertahan gigih dalam perut sang kiai dan tidak mau keluar. Sang kiai berdoa agar dirinya dapat buang angin. Namun, meskipun kerap dicoba, anginnya tetap tidak keluar. Akhirnya, sang kiai berdoa kepada Allah meminta agar dirinya dimasukkan ke dalam surga sekiranya dirinya wafat karena angin duduk tersebut. Langsung aku (Gus Dur) mengatakan kepadanya ‘Lah Pak Kiai, minta buang angin saja tidak dikabulkan, bagaimana mungkin minta masuk surga dikabulkan…’”
Seorang awam pernah bertanya kepada seorang profesor mengapa angin yang dikeluarkan manusia dari perutnya biasanya bau? Sang profesor pun menjawab:
“Itu terjadi agar orang yang pekak pun bisa tahu kalau ada yang buang angin.”
Sejak ramainya dibicarakan perihal perubahan iklim, banyak tudingan yang dialamatkan kepada ternak sapi sebagai salah satu makhluk yang ikut menjadi penyebab pemanasan global.
Kata seorang ahli, masyarakat sapi di seluruh dunia ikut “menyumbang” lebih dari 5,5% penyebab perubahan iklim dalam bentuk gas metana yang bukan saja berhembus dari bagian belakang sapi melainkan juga dari mulut dalam bentuk sendawa. Para sapi tidak perlu minta maaf ketika bersendawa atau buang angin, sedangkan budaya barat mengharuskan seseorang untuk meminta maaf jika bersendawa atau bersin.
Pada hal, untuk seorang ibu yang bayinya masih menyusu, tidak ada bunyi yang lebih melegakan daripada sendawa kecil dan halus yang keluar dari mulut bayi. Namun, ketika sang bayi sudah tumbuh besar, dirinya pun dididik untuk meminta maaf ketika bersendawa. Sungguh ironis bahwa ungkapan “Dari kecil teranja-anja, sampai besar terbawa-bawa” tidak dapat menjelaskan perbedaan pola pikir orang tua ketika sang anak masih belia dan ketika sang anak telah tumbuh besar.
Dalam karyanya tentang riwayat hidup “Raja Penyair Pujangga Baru” Tengku Amir Hamzah, Nh. Dini, mengisahkan bahwa Istana Langkat (tempat sang penyair dilahirkan) sering dikunjungi tamu-tamu dari Timur Tengah. Mereka kemudian dijamu makan siang atau malam seiring kunjungan mereka. Nh. Dini juga mengatakan bahwa “Biasanya para tamu dari Timur Tengah itu, selesai makan suka dengan sengaja bersendawa keras agar terdengar sampai di dapur. Ini merupakan hiburan bagi mereka yang telah banting tulang mempersiapkan jamuan untuk para tamu tersebut karena sendawa dianggap sebagai pertanda perut yang kenyang”.
Di era Orde Baru, seorang jenderal purnawirawan pernah berkisah kepada penulis tentang pengangkatannya sebagai duta besar di Eropa.
Dalam jamuan perpisahan dengan para menteri cabinet, sang jenderal mengaku bahwa dirinya pernah bersendawa keras sehabis makan malam. Seorang menteri yang pernah berkuliah di Eropa menyindir bahwa di Eropa, orang yang bersendawa harus meminta maaf karena bersendawa dianggap kurang sopan.
Meskipun setiap budaya memiliki pendapat berbeda terhadap praktik buang angin, kenyataannya setiap manusia dan makhluk hidup di permukaan bumi ini perlu melepaskan gas dari dalam lambung dengan satu atau lain cara.
Pada hakikatnya, kata seorang ahli, banyak manfaat buang angin yang tidak atau belum diketahui banyak orang. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai sesuatu yang membawa aib yang kalau bisa memang sebaiknya dihindari.
Dalam khazanah kesusasteraan Inggris ada sebuah sajak limerick semacam pantun yang lucu mengenai buang angin (fart). Dahulu di Inggris, kalau hendak menggunakan WC, umum harus membayar uang satu satu sen. Ada seorang warga Inggris yang setelah membayar satu sen langsung duduk di WC umum itu sembari menuliskan sajak berikut:
“Here I sit
Broken hearted
Spent a penny
And only farted”
(Di sini aku duduk patah hati – kecewa – sudah bayar satu sen, tapi hanya buang angin).
Pada hal kalau hanya buang angin, dirinya bisa melakukannya di mana saja tanpa harus membayar satu sen pun. Sungguh disayangkan