Nama Nina Moran di kalangan media Indonesia sudah dikenal sejak lama, ketika ia bersama kedua orang adiknya (waktu itu mereka masih berusia 25, 22, dan 18 tahun) dengan nekat mendirikan media cetak majalah remaja baru di tahun 2005: Gogirl! Namun di tahun 2013, kemampuannya untuk mempertahankan keeksisan bisnis majalahnya membuatnya diganjar salah satu penghargaan untuk wanita pengusaha Indonesia yang paling prestisius: Ernst & Young Indonesia Entrepreneurial Winning Women 2013.
Di kompetisi yang juga dilakukan E&Y di 50 negara lainnya ini, Nina harus bertanding dengan tujuh orang finalis lainnya. Sebelumnya, delapan orang finalis ini telah terpilih dari 30 kandidat awal. Untuk bisa berkompetisi dalam penghargaan ini, pengusaha wanita tersebut harus bisa menunjukkan keuntungan minimal Rp 10 miliar dalam setahun.
Penghargaan ini diberikan untuk memberikan akses kesempatan dan pelatihan yang lebih besar kepada pengusaha wanita Indonesia. Saat ini, menurut Sinta Widjaja Kamdani, salah satu juri kompetisi ini, kaum perempuan yang berwirausaha menghadapi tantangan besar dan secara umum masih kesulitan akses pasar, modal dan pendidikan. “Mereka perlu peningkatan kapasitas supaya bisa meningkatkan keterampilan dasar bisnis mereka. Akses pembiayaan juga sangat kurang. Perempuan yang ingin mengajukan pinjaman ke bank masih menemui masalah,” jelas Sinta.
SWA, salah satu media bisnis di Indonesia, mengomentari bahwa “too many men on business, not enough women. Demikianlah kira-kira situasi dunia usaha di Indonesia. Dari 438 perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia, hanya 19 yang dipimpin oleh CEO perempuan. Betapa kecil komposisi perempuan pengusaha.”
Bersama dua orang wanita pengusaha lainnya (Melissa Sunjaya pemilik bisnis Tulisan: lukisan tangan di atas kanvas yang diproduksi untuk perabotan rumah tangga dan desain fashion; dan Arri Indriana, pemilik PT. Jafa Indonesia yang bergerak penjualan minyak dan gas) Nina Moran sebagai Business Director Gogirl! berhasil mendapatkan predikat Class of Winners berkat kegigihan dan keuletannya berinovasi dengan format iPad, website, dan channel TV Internet untuk mempertahankan eksistensi brand Gogirl! agar tetap relevan untuk pembacanya. Kini, Gogirl! sudah menjadi pemimpin pasar majalah remaja perempuan di Indonesia.
Oktober 2013 lalu, ia juga meluncurkan buku No One to Someone, yang mengisahkan dengan detail perjuangannya membesarkan majalah dan juga wawancaranya dengan beberapa pengusaha wanita Indonesia yang masih muda seperti dirinya. No One to Someone juga menjadi tema yang dipilihnya untuk edisi pertama majalah Gogirl!
Diteriaki Pegawai Bank
Di awal-awal Nina Moran hendak mengajukan pinjaman usaha kepada sebuah bank, ia pun pernah mengalami kejadian yang kurang mengenakkan. Kejadian ini ditulisnya di bagian awal buku No One To Someone.
Setelah ia dan adiknya, Anita, menulis proposal usaha untuk sebuah majalah remaja, ayahnya menemukan proposal tersebut tergeletak di ruang tamu rumah. Setelah mengomentari bahwa proposal tersebut bagus dan sepertinya ada potensi untuk diseriusi, Nina lantas memperbaiki proposal tersebut. Ia melakukan riset pasar dan meminta saran masukan dari beberapa pemain industri. Menuruti saran ayahnya, ia lantas coba mencari pinjaman bank.
Janji pun ia buat dengan salah satu bagian pemodalan usaha di sebuah bank (yang sekarang sudah tutup). Ketika ia datang kesana, ia menemukan staff bank tersebut dalam keadaan cemberut dan wajahnya ditekuk.
“Saya bisa re-schedule ke waktu yang lebih nyaman, mungkin?” tanyanya dengan ramah.
“Enggak usah! Proposalnya dibawa?”
“Bawa Mbak, ini. Perlu saya jelasin dulu mungkin garis besar konsepnya?”
“Tunggu, kasih saya waktu untuk baca ini sebentar.”
Tidak lama kemudian, staff tersebut makin lama makin kelihatan jengkel.
“Ini yang buat proposal siapa sih?” tanyanya dengan muka kesal.
“Saya, Mbak. Kalau ada yang salah bisa saya perbaiki.”
“Kamu udah lulus kuliah belum? Apa nggak kuliah?” bentaknya.
“Udah Mbak, saya lulusan Atma Jaya.”
“Kamu yakin? Kamu enggak bohong kan? Ini proposal sampah. Yakin nih anak kuliahan yang bikin?”
Suaranya makin tinggi dan keras. Sampai semua orang di ruangan melihat ke arah mereka.
“Sama monyet juga pinteran monyet kali, nih. Kalau orang utan yang bikin bakal lebih bagus kali!”
“Kamu buang-buang waktu saya! Nih! Balik kalau udah pinter!” hardiknya sambil melempar proposal Nina.
Nina lantas langsung lari ke tangga, menabrak satpam, dan menangis di luar bank. Ia merasa sepertinya tidak perlu sekasar itu kalau memang proposalnya belum bagus.
Walaupun sempat beberapa hari depresi di kamar, Nina akhirnya memutuskan lagi untuk datang ke bank yang lain. Untungnya, disana ia diterima dengan ramah dan dijelaskan apa saja kekurangan proposalnya.
“Begini, kalau saya lihat dari rencana bisnisnya, sepertinya menjanjikan. Proposalnya juga cukup bagus. Tapi, ini akan sulit untuk diterima bank. Pertama, Mbak masih terlalu muda dan maaf ya Mbak, kurang meyakinkan. Lalu, dana yang diminta miliaran rupiah, tapi perusahaan ini belum berbadan hukum. Mbak juga belum punya Surat Izin Usaha Penerbitan, Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan, surat keputusan menteri, dan Tanda Daftar Perusahaan,” ujar pegawai bank yang kedua.
“Selain itu, coba juga dibuat financial plan tiap bulan sampai perkiraan rencana balik modal. Oh ya, Mbak, meskipun nanti sudah memiliki badan hukum dan lain-lain, dananya belum tentu bisa cair. Apa yang saya sampaikan ini agar Mbak bisa memenuhi syarat untuk mengajukan pinjaman.”
Nina lantas langsung mengerjakannya dan mengunjungi kantor notaris untuk mengurus semuanya. Ia sukses memasukkan pengajuan pinjaman. Namun, seminggu kemudian, ia diberitahu bahwa pinjamannya tidak disetujui. Pilihannya hanya mengambil pinjaman multiguna dengan agunan rumah, namun bunganya sampai 18 %. Saat berkonsultasi dengan sang ayah, Nina mengusulkan untuk mendatangi investor dan bukannya mengunjungi bank. Akhirnya, sang ayah dengan mengejutkan menawarkan meminjamkan uang tabungannya, yang disisihkannya untuk dana warisan ketiga anaknya tersebut. Uang pinjaman sebesar Rp 1,3 miliar itulah yang digunakan Nina untuk memulai bisnis majalahnya.
Dua Tahun Pertama
Dua tahun pertama merupakan masa-masa perjuangan yang harus dilewati oleh Nina dan tim. Terlebih-lebih ketika ia mengetahui bahwa, walaupun riset industri sudah dilakukan, tetap saja banyak hal-hal yang membuat kaget. Misalnya, kenyataan bahwa agen atau distributor mendapat persentase yang begitu besar dari harga jual majalah. Hal ini membuat Nina harus putar otak untuk mendapatkan keuntungan. Urusan agen dan distributor ini ternyata banyak memberikan sakit kepala untuk Nina bahkan sampai terakhir-terakhir, mulai dari data yang tidak terkomputerisasi, penyetoran uang yang terlambat atau dibawa lari, sampai penipuan data oleh sub-agen/lapak karena tidak adanya kontrol.
Kedua, keterbatasan tenaga. Semua layout majalah harus dikerjakan oleh Anita, adiknya yang memang lulusan Desain Grafis. Fashion, beauty, and content, ditulis oleh Githa, anak ketiga dalam kelurga ini. Mencari tim redaksi yang baru lulus untuk menekan biaya gaji namun bisa cepat bekerja pun harus dilakukannya. Mereka kerap kali bekerja dengan sedikit waktu tidur dan benar-benar sungguh-sungguh melakukan bisnis ini. Keseriusannya berangkat dari faktor bahwa ketiganya merupakan magazine freaks sejak usia dini dan benar-benar merasa bahwa ada gap yang harus diisi untuk majalah dengan target pembaca 14 – 22 tahun.
Ketiga, nama Gogirl! yang belum booming dan dikenal membuat Nina juga kerap kali putar otak untuk mengenalkan dan merayu pengiklan agar mau mempercayakan Gogirl! sebagai tempat pasang iklan. Untuk mengakalinya, ia membuat launching Gogirl! edisi pertama, media kit, dan juga menyiapkan doorprize untuk undangan perusahaan-perusahaan yang diincarnya. Acara ini diadakannya di Score, Cilandak Town Square, di siang hari, sebagai cara untuk membuat seolah-olah tempat hanya dipakai oleh tim, padahal karena Score sendiri cenderung sepi di siang hari dan Nina tidak perlu membayar lebih untuk menyewa eksklusif/private party. Dengan biaya yang relatif murah (lunch set per orang waktu itu bisa dinegosiasikan hanya dengan Rp 35.000 per orang), Nina berhasil mengomunikasikan konsep dan keberadaan Gogirl! kepada pengiklan komersil.
Tidak lama kemudian, Nina harus menghadapi rumor bahwa Gogirl! akan berhenti cetak hanya setelah empat edisi. Namun pembuktiannya bahwa Gogirl! terus beredar membuat para pengiklan yakin. Sampai akhirnya, salah satu paman Nina yang merupakan pemilik lisensi Levi’s di Indonesia, mendapatkan tawaran dari agensinya untuk menaruh iklan di majalah remaja baru Gogirl! “Is that yours?” tanya pamannya. Jadi ia sendiri tidak mau meminta pamannya untuk memasang iklan di majalahnya. Nina dan adik-adik yang dibesarkan untuk bekerja keras ini paling enggan meminta bantuan atau bekerja sama dengan keluarga dan teman-teman untuk menghindari urusan tidak enak nantinya.
Sistem barter menjadi salah satu andalan Nina untuk memperoleh promosi melalui media-media yang sering didengarkan oleh target marketnya. Gogirl! promo di radio sambil memberikan hadiah CD musik (kepada pendengar radio) yang sebenarnya diberikan oleh record company kepada Gogirl! Sementara itu, ia bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan untuk menciptakan bonus yang murah di majalah namun praktis dan bisa dipakai oleh pembacanya. Dengan adanya bonus, lebih banyak value yang bisa didapat oleh pembacanya dan calon pembeli jadi punya lebih banyak pendorong untuk membelinya. Menyiapkan bonus-bonus ini pun, kerapkali dilakukan oleh mereka sendiri, karena percetakan seringkali menolak untuk melakukan kerja tambahan.
The Happy Rewards
Keteguhan mental Nina dan timnya, serta semangat mereka terus mencari jalan keluar mengaktifkan “keran-keran” pendapatan lainnya (tanpa harus memberatkan pembaca atau pengiklan) seperti Tweet berbayar dan partisipasi di event-event, membuat akhirnya Gogirl! sampai kini masih bertahan. Yang paling membuat Nina bahagia adalah ketika nama Gogirl! mulai dibangga-banggakan dan disebut sebagai pemimpin dalam pasar majalah remaja. Orangtua mereka mulai menyebut-nyebut karya ketiga anaknya dengan perasaan bangga. Dan mereka pun sudah bisa memberikan jaminan asuransi kesehatan bagi karyawan, membelikan mobil untuk ibunda tercinta, dan menjadi orangtua asuh untuk anak-anak yang membutuhkan.
Selain itu, Nina dan tim juga sangat suka membaca surat-surat pembaca yang mengungkapkan betapa senangnya pembaca dan betapa terbantunya hidup mereka dengan artikel-artikel yang telah diulas di Gogirl! Salah satu pembaca bahkan ada yang menulis, bahwa dia sempat terpikir untuk bunuh diri karena depresi dan frustrasi dibanding-bandingkan oleh saudara kandungnya. Berkat salah satu tulisan tentang sisterhood di majalah Gogirl, ia jadi tahu bagaimana cara menghadapi orang yang suka membanding-bandingkan, dan jadi terbuka pikirannya untuk mengeksplorasi apa kelebihannya sendiri. Pikiran-pikiran gelap seperti untuk bunuh diri pun lenyap dari otaknya.
“Walau mungkin kami cuma bisa bikin perubahan kecil, tapi setidaknya hidup dan karya kami enggak sia-sia. Bahkan, kami dikasih kesempatan untuk bisa punya pengaruh dalam hidup orang lain. Jadi, kalau memang ini rencana Tuhan, pasti ada jalan,” tulis Nina di halaman 87 buku ini.
The Lessons
Menjalani bisnis majalah membuat Nina mendapat banyak pelajaran tentang menangani kru dan mengelola semangat agar terus bisa menjalankan bisnisnya. We cannot stop now menjadi mantranya untuk melanjutkan dan mendorong dirinya mencapai apa yang menjadi tujuan utama bisnisnya: menjadi obor bagi pembaca.
Dalam menangani kru, Nina mempunyai beberapa tips berharga. Antara lain, pentingnya untuk memahami berbagai perbedaan karakter orang, dan mencari tahu cara yang paling tepat untuk memotivasi karakter orang yang berbeda-beda. Selanjutnya, selalu berkomunikasi dengan jelas, sampaikan dinamika perusahaan, keadaan perusahaan baik dan buruknya, ekspektasi terhadap mereka, sampai pendapat tentang kinerja mereka dengan jelas.
Sementara untuk mempertahankan bisnisnya, satu hal yang mungkin patut disebut disini adalah bahwa “menyerah itu bukan pilihan.”
“Sedih boleh, terpukul boleh, down boleh, nangis guling-guling juga boleh. Tapi setelah itu harus segera bangun lagi. Saat kita sudah enggak punya kekuatan untuk bangkit, satu-satunya yang memberikan cara itu Tuhan. Dengan cara-Nya, kita akan diberi kekuatan untuk bangkit, diberi petunjuk, dan pada akhirnya jika kita terus berdoa dan berusaha, segala hal selalu punya jalan.”
(No One to Someone, by Nina Moran, Mizan Media Utama, 2013) Pic: Nina Moran Blog & Mommies Daily.