Indonesian Film Festival 2018: Kaya Ragam Cerita and Nilai Budaya

Keunggulan film Indonesia salah satunya adalah ide cerita yang unik dan beragam, sesuai dengan tema IFF tahun 2018 ini yaitu A Spectrum of Narratives. Kekayaan budaya Indonesia justru menginspirasi para sineas untuk menyajikannya dalam sebuah medium, yaitu film. Hal ini juga ditegaskan oleh Bagus Wirati Purba Negara, sutradara film Ziarah tahun 2017, dan juga Jay Subiakto, sutradara film Banda tahun 2017, yang mengembangkan kisah dari perjalanannya menyelusuri pelosok Indonesia dan mendengarkan cerita sejarah dari masyarakat kecil. Film Ziarah (Tales of the Otherwords) adalah karya film panjang pertama Purba, yang berawal dari pengalamannya menjadi sukarelawan di Aceh paska tsunami. Hatinya tergerak untuk menyatukan tema kematian dan sejarah yang pasti dialami oleh setiap manusia. Hal yang sama juga terjadi pada Jay ketika ia memulai menggarap film dokumenter berjudul Banda. Kesadarannya akan nilai sejarah yang kian hari kian mengikis di pengetahuan para anak muda Indonesia menjadi alasan tersendiri bagi Jay untuk menuangkan ide dan gagasannya dalam  film Banda ini. Beliau mengungkapkan bahwa sejarah merupakan hal terpenting dalam kehidupan kita sebagai manusia. “Melupakan sejarah masa lalu berarti mematikan masa depan bangsa kita”, tuturnya. Beliau juga menambahkan bahwa film seharusnya tidak hanya menjadi wadah untuk menghibur masyarakat. Namun juga harus mampu menjadi medium untuk belajar ilmu pengetahuan. Oleh karenanya ia ingin menyajikan film yang berisi nilai-nilai ilmu pengetauan bagi masyarakat, muatan sejarah misalnya.

Tidak hanya film Ziarah dan Banda, film Lewat Djam Malam tahun 1954 yang disutradarai oleh Usmar Ismail juga menyajikan cerita berlatar sejarah Indonesia paska kemerdekaan. Pada acara press conference itu hadir pula Lintang Gitomartoyo dari pusat Yayasan Film Indonesia yang bekerja untuk mengalihmediakan film-film klasik Indonesia baik fiksi, dokumenter maupun koleksi pribadi dari seluloid menjadi digital. Menurut Lintang, kegelisahan akan fenomena yang terjadi paska kemerdekaan Indonesia seperti korupsi dan kolusi menjadi alasan mendasar bagi Usmar membuat film Lewat Djam Malam ini. Alur cerita yang begitu kuat juga menjadikan film ini masih digemari masyarakat Indonesia hingga saat ini.

IFF menghadirkan 6 sineas yang terdiri dari aktor, sutradara, dan produser film pada konferensi pers yang diadakan pada Sabtu, 28 April 2018 di Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Melbourne. Dua diantaranya adalah Marsha Timothy dan Karina Salim yang mengaku mendapatkan tantangan baru di filmnya masing-masing, yakni Marlina dan Salawaku. Keduanya mengaku bahwa berperan sebagai seorang perempuan yang mereka mainkan membutuhkan pendalaman karakter yang cukup sulit. Terlebih lagi kedua film ini sangat minim dialog sehingga ekspresi dan gesture menjadi aspek penting yang ditonjolkan.

Tak hanya tantangan dari sisi peran, lokasi syuting kedua film ini sangatlah jauh dan sulit diakses, berbeda dari suasana kota besar di Indonesia. Film Marlina berlatar tempat di Sumba, sebuah pulau di selatan Nusa Tenggara, sedangkan film Salawaku berlatar tempat di Maluku. Mempelajari budaya, dialek lokal, dan tradisi warga setempat juga menjadi tantangan tersendiri bagi kedua aktris berbakat Indonesia, Marsha Timothy dan Karina Salim.

Di sisi lain, Ayu Laksmi, aktris pemeran Ibu di film Pengabdi Setan mengaku bahwa beliau juga mengalami beberapa tantangan. Ayu yang berlatar belakang sebagai musisi melakukan pendalaman karakter yang cukup sulit pula di film yang disutradarai oleh Joko Anwar tersebut. Ayu juga mengungkapkan adanya beberapa perbedaan terkait sinematografi, latar, penokohan, serta alur cerita dari film Pengabdi Setan versi tahun 1980 dan versi 2017. Ada beberapa kisah dari pemain utama yang diperbarui oleh sang sutradara sehingga memunculkan kreativitas baru bagi pemainnya. Film ini berhasil memenangkan lebih dari 12 penghargaan internasional sepanjang tahun 2017 dan juga menjadi film terpilih di acara IFF tahun 2018 ini.

Banyak tanggapan positif mengenai acara tahunan IFF muncul dari keenam bintang yang hadir dalam press conference ini. Para sineas berharap, acara seperti ini dapat semakin memajukan kualitas film-film Indonesia di hari depan. Nilai orisinalitas, kebebasan mengarahkan alur cerita, serta mempunyai tim yang berdedikasi tinggi membuat para sutradara, produser, sekaligus pemain film ini merasa puas akan hasil karyanya ini. Tentu saja, kebanggaan tersebut juga dirasakan oleh para kurator IFF yang memilih film dengan konten berkualitas untuk tayang pada festival ke-13 ini.  Well done IFF!!

 

Keenam sineas film Indonesia dalam acara press conference IFF 2018

Evelynd dan Nudia Imarotul Husna