“Air Besi”

Saban hari di televisi-televisi Indonesia ditayangkan iklan mengenai pengobatan/penyembuhan alternatif.

 

Pengobatan alternatif adalah istilah dalam bentuk yang lebih halus dan terhormat daripada perkataan dukun. Maksudnya sederhana saja – bukan pengobatan atau penyembuhan sesuai dengan ilmu kedokteran moderen.

Dalam pengobatan/penyembuhan alternatif memang diperlukan keyakinan yang sangat luar biasa dari sang pasien.

 

Saya punya pengalaman pribadi mengenai pengobatan/penyembuhan alternatif, karena menyangkut ibunda saya yang dalam tahun 1953 terkena serangan jantung. Beliau dilarikan dengan beca dayung (waktu itu di Medan belum ada beca mesin) ke Rumah Sakit Umum (RSU) Medan berjarak sekitar 15 kilometer dari rumah.

 

RSU Medan di zamannya memang unik.

 

Pasien yang berobat di sana tidak harus ke apotek untuk mengambil obat. Cukup membawa resep dokter ke bagian farmasi RSU itu. Apoteker kemudian akan memberi tahu harus beli botol apa, kalau obat yang diberi dokter berupa cairan. Apakah bekas botol kecap, atau botol cuka dan lain sebagainya. Di depan RSU itu terdapat sejumlah orang yang mata pencahariannya memang berjualan botol bekas. Setelah botol yang tepat guna ditemukan, maka langsung dibersihkan dengan air dan sabun lantas dibawa kembali ke apotek untuk diisi dengan obat dan dibawa pulang.

 

Di samping obat-obat dalam bentuk cairan, di zaman itu yang paling kerap diberikan dokter adalah obat-obat dalam bentuk puyer, bukan tablet, yang akan dibungkus dengan kertas apa saja – mungkin koran bekas – oleh sang apoteker.

 

Kembali ke kisah ibunda saya.

 

Beberapa hari kemudian dokter menganjurkan agar beliau dibawa pulang saja dari RSU karena sudah tidak punya harapan.

 

Dengan berat hati anjuran dokter dilaksanakan oleh ayahanda yang sangat gundah gulana melihat keadaan perempuan yang dinikahinya lebih dari 50-tahun sebelumnya itu.

 

Setibanya di rumah, ayahanda mulai memeriksa berbagai kitab tua dalam bahasa Arab yang menghiasi perpustakaan kecilnya, untuk mencari keterangan mengenai penyakit jantung dan, kalau ada, obatnya.

 

Kitab berisikan petuah-petuah pengobatan (alternatif) oleh seorang tuna netra bernama Sheikh Daud yang hidup sekian ratus tahun sebelumnya menarik perhatiannya.

 

Meski, atau justeru karena tuna netra, Sheikh Daud sangat tinggi daya kepekaannya. Pernah suatu kali istrinya menyimpan sepucuk surat untuknya di bawah bantalnya. Ketika Sheikh Daud meletakkan kepalanya di atas bantalnya itu ia langsung merasa ada ganjalan. Tangannya yang meraba ke bawah bantal menemukan surat tadi.

 

Menurut petuah Sheikh Daud, orang-orang yang lemah jantungnya harus diberi minum air besi.

 

Air besi?

 

Ya.

 

Ayahanda langsung mencari sebatang besi di toko rombengan dan menemukan sebilah bekas pegas truk. Setelah dicuci dan karat-karatnya diupayakan agar terkikis, besi ini dimasukkan ke dalam api tungku di dapur ketika sedang menanak nasi, menjerang air atau memasak gulai, dan apabila telah merah (karena begitu panasnya) dicelupkan selama beberapa waktu ke dalam satu timba air minum. Ini dilakukan berulang-ulang hingga warna airnya berubah. Air besi ini kemudian dicampuri mustaka (Sanskrit), sejenis herba yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional India (Ayurvedic) yang mengeluarkan keharuman khas.

 

Beberapa kendi dari tanah liat kemudian diisi dengan air besi yang harum ini dan ibunda dianjurkan agar meminum sebanyak mungkin air ini, sebagai pengganti air putih biasa.

 

Saya pun pun yang tidak sakit jantung suka meneguk air ini karena keharumannya, tanpa memikirkan khasiatnya.

 

Alhamdulillah ibunda berangsur-angsur pulih dan berpulang ke rahmatullahu ta’ala sekitar 15 tahun kemudian. Apakah berkat air besi? Entahlah. Apakah karena keyakinannya? Siapa tahu? Atau memang belum ajal? Wallahu a’lam.

 

Ayahanda suka mengingatkan kami anak-anaknya tentang sumbangan para ilmuwan kedokteran Arab di zaman keemasan Islam. Ayahanda mengatakan seorang Muslim bernama Zaryab – mantan budak – dalam abad ke-9 di Andalusia (Spanyol) memperkenalkan  “obat untuk dipoleskan ke bawah ketiak guna menghalau bau tak sedap” (deodorant) seribu tahun sebelum Barat dalam abad ke-19 memproduksi deodorant kimiawi.

 

Dalam kaitan lain, ketika pohon jeruk di belakang rumah saya di Melbourne ini lebih banyak daunnya ketimbang buahnya, seorang kawan menasihati agar ke dalam sekeliling tanah sekitar setengah meter dari batang pohon dihunjamkan kaleng-kaleng kosong.

 

Ternyata beberapa bulan kemudian, pohon jeruk saya lebih banyak buahnya ketimbang daunnya.

 

Berkat zat besi (dari kaleng kosong)? Wallahu a’lam.#