Heston Blumenthal
Heston Blumenthal adalah seorang koki ternama sekaligus pemilik dari The Fat Duck, sebuah restoran di Berkshire yang mendapat tiga bintang Michelin –sebuah penghargaan tertinggi yang bisa didapat oleh sebuah restoran. Heston sendiri terkenal karena ide dan inovasinya dalam menciptakan menu baru. Salah satu inovasinya adalah melibatkan panca indera selain indera pengecap dalam berkuliner. Contohnya adalah menu Sound of the sea yang menyajikan santapan seafood dengan ditemani sebuah keong besar yang mengeluarkan “suara laut”, yakni suara desir ombak dan burung camar. Inovasi lainnya adalah teh panas dingin (Hot and Iced Tea), es krim bacon dan telur orak-arik (Nitro-scrambled egg and bacon ice cream) dan masih banyak yang lainnya. Baru-baru ini Heston berkunjung ke Melbourne untuk mengumumkan kepindahan sementara The Fat Duck ke Crown Towers, Melbourne. Hal ini adalah yang pertama kali untuk The Fat Duck yang tidak punya cabang di manapun. The Fat Duck akan beroperasi pada bulan Februari 2015 selama enam bulan saja, dan setelah itu akan digantikan dengan Dinner by Heston Blumenthal.
(Teks: Pingkan/Foto: Ineke)
Paul Ramadge
Pada satu tahun terakhir ini, Paul Ramadge mungkin adalah tokoh terpenting untuk masyarakat Indonesia di Australia. Paul Ramadge adalahdirektur dari Pusat Australia-Indonesia, atau Australia-Indonesia Centre (AIC), sebuah inisiatif baru dari Perdana Menteri Tony Abbott sebagai pemenuhan janjinya untuk mempererat hubungan dengan tetangga terdekat Negeri Kangguru ini. Ramadge sebelumnya adalah pemimpin redaksi salah satu koran terbesar di Victoria, The Age, selama empat tahun. Namun, ia mengundurkan diri di tahun 2012 dan ditunjuk sebagai Vice-Chancellor’s Professorial Fellow oleh Wakil Rektor Universitas Monash Ed Byrne. Ia juga berperan sebagai Direktur Eksekutif dari Inisiatif Global yang bertujuan untuk meningkatkan program-program Universitas Monash yang terkait dengan Indonesia.
(Teks: Pingkan)
Spice of Life Syahisti
Syahisti Abdurrahman adalah tonggak dedikasi. Di usianya yang lebih dari 80 tahun ia masih bergerak lincah mengikuti berbagai kegiatan yang terkait dengan Indonesia. Alat perekam tak pernah lepas dari tasnya. Maklum ia adalah penanggung jawab Radio Kita (RK) sejak 1999. RK
Yang memulai siaran pada 1987, berada di bawah naungan Melbourne Ethnic Community Radio, 3ZZZ, radio komunitas terbesar yang menyiarkan lebih dari 70 ragam bahasa.
Untuk dapat siaran satu jam setiap minggu, setiap penanggung jawab diberi kewajiban untuk mengumpulkan sedikitnya 40 anggota yang mau membayar uang keanggotaan sebesar $ 15 AUD per tahun. Setiap anggota berhak untuk ikut menentukan materi siaran. Penanggung jawab juga punya kewajiban mengumpulkan dana sebesar $ 1.000 AUD per tahun. Untuk itu, 3ZZZ menyelenggarakan radiothon, semacam bulan dana setiap Oktober. Dana itu diperoleh dari komunitas masing-masing bahasa termasuk perwakilan pemerintahan yang peduli agar siaran dalam bahasa mereka tetap bertahan. Dana operasional terbesar tentu tetap berasal dari subsidi pemerintah Victoria.
“Sejauh ini kami bisa memenuhi kewajiban itu. Selalu saja ada jalan dan pihak yang membantu,” ujar Syahisti Abdurrahman.
Awal April 2014 yang lalu, Syahisti meluncurkan biografinya yang berjudul Spice of Life. Buku itu secara runut mengisahkan jalan hidupnya sejak kecil hingga saat ini. Ia antara lain berkisah cara membuat bumbu khas Indonesia. Di tahun 70-an, makanan khas Indonesia masih sangat langka. Ia pun ditantang oleh keadaan untuk berimprovisasi membuat bumbu dengan mencampur-campur bahan yang tersedia. Bertambahnya usia ternyata tak membuatnya surut, tetapi justru semakin produktif.
(Teks & Foto: Iip)