Ada baiknya kita melihat Maria sebagai model, untuk kita ambil salah satu contoh tugas perutusan kita misalnya: kita harus mengikuti Maria dari Magnificat (Luk 1:46-56 khususunya ayat 51-53) model kebebasan dan pembebasan.
Madah pujian ‘Magnificat’ merupakan nyanyian Penantian yang paling tua dan salah satu dari madah pujian gereja yang terbesar dan paling revolusioner. Dalam lagu ini kita tidak menemukan seorang Maria yang halus dan lemah lembut seperti sering kita saksikan dalam lukisan para seniman, melainkan seorang Maria yang berjiwa besar dan berkehendak baja. Juga tidak kita dapati dalam madah pujian ini suatu peraaan rayu, melainkan suatu nada keras, tegas, pantang mundur, yang merobohkan tahta-tahta, merendahkan penguasa-penguasa dan mengagungkan karya Allah yang tak terpahami. Inilah Maria yang dipenuhi oleh Roh Allah.
Stanley Jones mengatakan bahwa Madah Magnificat merupakan satu dokumen yang paling revolusioner di seluruh dunia, karena berisi tiga jenis revolusi yang disebut revolusi untuk Allah:
1. Revolusi Susila:
“Ia menceraiberaikan orang yang angkuh” (ayat 51).
Menjadi seorang beriman berarti secara radikal melenyapkan kesombongan dan menghilangkan kecongkakan. Karena setiap orang yang mempertaruhkan nyawanya bagi Kristus, harus bersedia membasmi sisa-sisa terakhir dari kesombongan. Dari pengalaman terbukti bahwa seorang merasa malu terhadap dirinya sendiri, karena ia melakukan suatu perbuatan yang tidak terpuji.
Saya pernah membaca cerita tentang seorang pemuda yang pergi merantau meninggalkan kampung halamannya. Selagi ia berada di bangku sekolah, ia biasa duduk disamping seorang gadis dan mereka saling jatuh cinta. Sejak di perantauan, ia menjadi penjahat, dan pencuri yang licik. Pada suatu hari ia mencopet dompet uang dari seorang nyonya tua. Ia sangat puas dengan tindakannya ini. Namun kemudian terjadilah suatu perubahan dalam dirinya. Ia bertemu kembali dengan gadis yang pernah ia kenal. Gadis itu masih cantik, belum ternoda dan tak ada tipuan dalam dirinya.
Ia lalu merasa malu dengan dirinya sendiri, karena ia sadar bahwa ia orang jahat. Dalam kesadaran ini ia mengangkat kepalanya dan berdoa: “Tuhan biarlah saya mati pada saat ini”. Kejujuran dan keikhlasan sang gadis telah menyadarkan pemuda itu akan kesombongan dan kekeliruannya. Kebaikan, ketulusan hati, iman yang tulen harus dapat membasmi kesombongan. Mawas diri dan pertobatan merupakan daya yang mampu menghancurkan kesombongan.
2. Revolusi Sosial:
“Orang yang berkuasa diturunkannya dari tahta; yang hina diangkatnya” (ayat 52)
Iman akan Yesus Kristus harus mengakhiri perbedaan golongan dan pengaruh. Iman yang tulen harus mengakhiri jurang antara yang kaya dan miskin, yang pintar dan yang bodoh, yang lemah dan yang kuat, yang berpengaruh dan yang tidak berpengaruh.
Pada akhir abad pertengahan hiduplah seorang raja ilmu ketuhanan yang bernama Muretus. Sebagai seorang sarjana ia selalu mengembara dan hidup sebagai orang miskin. Pada suatu hari ia jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit di sebuah kota di Italia. Para dokter mendiskusikan keadaan penyakitnya dalam bahasa latin, karena mereka berpikir bahwa ia tidak mengerti bahaasa itu. Menurut mereka, ia adalah seorang sarjana yang tidak berguna lagi, maka karena itu ia dapat dipergunakan sebagai bahan eksperimen bagi ilmu kedokteran. Muretus memandang para dokter itu dan dengan suara tegas ia berkata: “Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Tiap orang yang ditebus oleh Yesus Kristus adalah manusia yang punya nilai, bahkan punya martabat.” Kalau kita terima bahwa Yesus Kristus mati bagi semua manusia, maka kita tidak ada hak untuk berbicara tentang tidak bergunanya seorang manusia. Sejelek-jeleknya manusia, ia punya martabat sebagai anak Allah dan saudara kita. Revolusi sosial menghendaki, supaya kita menerima sesama kita sebagai manusia.
3. Revolusi Ekonomi:
“Orang yang lapar dikenyangkannya dengan kebaikan; orang kaya diusirnya pergi dengan tangan kosong” (ayat 53).
Satu masyarakat yang bukan Kristen selalu berusaha mengejar kekayaan dan keuntungan pribadi, tanpa menghiraukan nasib orang lain. Sebaliknya dalam masyarakat Kristen tak seorangpun yang menjadi terlalu kaya sampai membuat orang lain terlantar dan miskin. Seorang Kristen adalah manusia yang senasib dan sepenanggungan dengan orang lain. Revolusi ekonomi adalah kata lain dari ‘berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.’ Seorang beriman adalah dia yang pintu hatinya senantiasa terbuka untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
Oleh: Romo Wahyu Anggono, O. Carm
(Chaplain Keluarga Katolik Indonesia-Melbourne)