Serba-Serbi Hidup di Luar Negeri

Sastra Wijaya dan keluarga.

L. Sastra Wijaya

Jurnalis ABC

Setelah lebih dari 20 tahun tinggal di luar Indonesia, pertanyaan yang sering saya dengar adalah apa perbedaan tinggal di London, Adelaide atau Melbourne (tiga kota yang pernah dan sedang saya tinggali) dengan Indonesia? Jawabannya tentu saja banyak, dan beragam. Namun, secara pribadi bagi saya bukanlah semata bahwa negeri seperti Inggris atau Australia memiliki sistem transportasi yang lebih baik, kehidupan perekonomian yang lebih nyaman. Semua itu tentu saja kadang seperti sesuatu yang tidak perlu diperhatikan lagi, seolah-olah memang wajibnya kita melihat hal tersebut terjadi di negara maju.

Bagi saya, keenakan hidup di luar negeri adalah bahwa kalau malam tidur, kita tidak perlu menggunakan penyejuk ruangan. Bahkan selimut sepanjang tahun harus menjadi teman yang tidak bisa ditinggalkan.

Mengapa hal tersebut penting bagi saya pribadi? Ada beberapa alasan pribadi .

 

Sebelum saya meningggalkan Indonesia di tahun 1994, di usia 30 tahun, untuk pindah ke London (Inggris) guna bekerja untuk BBC, saya tidak pernah hidup lama dengan AC. Dilahirkan dalam keluarga yang “sederhana” untuk tidak disebut miskin di tahun 1964 di kota kecil seperti Jambi, AC memang bukanlah kemakmuran yang bisa dinikmati. Sekarang mungkin sudah menjadi kebutuhan pokok di banyak rumah tangga, namun sampai saya pindah ke Yogyakarta di tahun 1983 dan kemudian ke Jakarta di tahun 1988, alat untuk mengusir kegerahan adalah kipas tangan atau paling banter kipas angin listrik.

Saya baru merasakan AC ketika bergabung dengan menjadi wartawan Kompas di tahun 1989. Sebagai bujangan ketika itu, saya sering tidur di kantor, memanfaatkan ruangan kantor yang dingin, dan juga karena malas untuk pulang ke rumah kakak dan juga belakangan kos-kosan yang panas. Baru setelah saya merasakan dinginnya AC, saya menyadari bahwa saya sebenarnya alergi akan udara dingin buatan ini. Memang lebih banyak buat tidur, namun kalau sudah beberapa hari biasanya akan disertai dengan batuk-batuk atau sesak napas.

Tentu ini bukan satu-satunya alasan mengapa saya memilih untuk bergabung dengan BBC Seksi Indonesia di London tahun 1994. Namun kepindahan ke Inggris selain memberikan pengalaman bisa bekerja di media internasional, juga sekaligus memberi kenikmatan bahwa setiap malam, saya bisa tidur nyenyak tanpa harus tergantung pada pengatur suhu ruangan.

Sebagai negeri empat musim, Inggris relatif nyaman untuk ditinggali dari sisi cuaca. Tentu saja, bila musim dingin, dengan suhu kadang bisa di bawah nol derajat, anda bisa membayangkan betapa sengsaranya hidup bila kita tidak memiliki peralatan tambahan, entah itu pakaian tebal atau suhu pemanas ruangan.

Namun saya sering mendengar bahwa banyak orang lebih suka dengan cuaca dingin dibandingkan panas. “Kalau dingin, kita tinggal menambah pakaian beberapa lapis, tetapi kalau panas, walau sudah telanjang pun, kita tetap saja gerah.” demikian pendapat mereka, yang juga saya amini. Kalau dingin, di banyak rumah di Inggris dan juga sebagian di Australia, sudah tersedia pemanas. Dan untungnya saya tidak alergi dengan pemanas.

Ada hal lain yang juga menyebabkan saya tidak suka dengan cuaca panas atau lebih tepatnya pergantian musim karena ini ternyata mendatangkan persoalan lain karena saya mengalami alergi akan serbuk sari. Fenomena ini disebut hay fever. Jadi di musim semi (antara bulan April-Jun di Eropa, September-November di Australia), adalah musim dimana bunga dan pepohonan menghijau kembali, setelah beberapa bulan “mati” atau tidur selama musim dingin.

Sastra Wijaya-OZIP
Sastra Wijaya dan keluarga.

Dengan bersemi musim, pepohonan ini bergairah kembali untuk menghasilkan bunga, buah dan daun yang baru. Sayangnya serbuk-serbuk yang banyak beterbangan di udara ini ternyata bagi sebagian orang menyebabkan alergi. Gejalanya hampir sama seperti kalau kita menderita flu: hidung tersumbat dan meleleh, mata pedih, dan tenggorokan sakit . Memang tersedia obat-obatan di apotik untuk membantu meredakan gejala ini, namun bagi saya, kadang efeknya tidak terasa.

Jadi selama beberapa minggu, terpaksalah “menderita” karenanya. Namun, seperti misalnya kehidupan yang saya rasakan di Australia sejak kami pindah dari London di tahun 2010, dari 12 bulan dalam setahun, “ketikdaknyamanan” selama beberapa minggu ini adalah harga yang harus dibayar untuk kenyamanan cuaca selama sisa 10-11 bulan lainnya. Dibandingkan dengan Inggris dimana musim dingin lebih lama dan langit terus mendung selam beberapa bulan, kebanyakan dari Oktober sampai Maret, cuaca di Adelaide (terutama) dan Melbourne, sangat “enak”.

Musim dingin tidak terlalu menyengat dan walau cuaca dingin, namun kadang dan seringkali langit masih biru dan matahari bersinar, hal yang tidak banyak terjadi di Inggris.