Jepang sangat terkenal akan matcha, yakni teh hijau jenis Tencha yang dihaluskan dan diseduh di sebuah chawan (mangkuk teh), kemudian diaduk menggunakan sebuah chasen (pengaduk bambu khas Jepang). Kali ini OZIP Magazine akan bercerita tentang kisah dibalik pembuatan chawan matcha yang masih dibuat dengan cara tradisional oleh salah satu pengrajin tembikar Shigaraki di daerah Yubune, Prefektur Kyoto.
Shigaraki adalah sebuah daerah yang bertetanggaan dengan kota Yubune. Kerajinan Tembikar Shigaraki merupakan salah satu dari enam tempat pembakaran kuno di Jepang. Sekitar 1500 tahun yang lalu, kerajinan tembikar diyakini dimulai dengan pembakaran genteng istana kekaisaran selama relokasi ke Shigaraki.
Sejak abad ke-13 dan seterusnya, muncul teknik menggunakan tempat pembakaran Anagama (alat pembakar tembikar) dari Shigaraki. Peralatan teh dan barang-barang terkait teh lainnya dibuat, sehingga tekstur kerajinan dari Shigaraki yang keras dianggap sebagai seni yang melambangkan budaya Jepang.
Narasumber kali ini, Kengo Saeki, adalah seorang seniman keramik khas Shigaraki yang masih menjaga keaslian teknik pembakaran Anagama. Pengrajin yang lahir di Kyoto pada 1969 ini lulus dari Kyoto Seika University mengambil jurusan Seni Pahat Tiga Dimensi pada tahun 1993. Kemudian, ia magang di bawah bimbingan Seiji Sawa di Shigaraki selama delapan tahun mulai tahun 1995. Hasil belajarnya dipamerkan di Taman Tembikar di Shigaraki pada tahun 1997. Setelah pelatihan di Shigaraki, Ia mendirikan workshop-nya sendiri di Yubune.
Sejak saat itu, ia melakukan banyak perjalanan internasional untuk mengeksplorasi dunia tembikar, termasuk dengan mengunjungi Papua Nugini tahun 2005. Hasil karyanya kemudian ditampilkan dalam pameran tunggal nasional yang ia selenggarakan.
Salah satu keunikan karya Saeki adalah durasi pembakaran yang Ia lakukan. Umumnya para pengrajin hanya membakar tembikar mereka selama tiga hari, namun Saeki melakukannya selama delapan hingga sepuluh hari. Di zaman modern, banyak seniman mempertimbangkan kenyamanan dan biaya dengan menggunakan tungku listrik atau gas untuk pembakaran tembikar. Tak banyak seniman di daerah Shigaraki yang mempraktekkan metode pembakaran tradisional Anagama atau noborigama (memanjat tanur).
“Periode pembakaran yang lama meningkatkan kedalaman warna dan pola dalam karyaku,” jelas Saeki.
Saeki melanjutkan teknik tradisional kerajinan tangan Shigaraki seperti persiapan tanah liat dan pembakaran kayu di tempat pembakaran Anagama. Saeki menjalani seluruh proses pengolahan tembikar dengan tangannya sendiri. Ia memadukan tanah lokal dari Yubune dengan tanah dari Shigaraki. Tanah di daerah Yubune dan Shigaraki terkenal sebagai lapisan Biwako kuno, yang dianggap sebagai tanah ajaib yang ideal untuk keramik.
Gaya desain Saeki yang kuat membangkitkan kekuatan alam dan bumi. Anagama yang ia bangun berada di lereng bukit, dengan langit-langit terbuat dari bahan seperti tanah liat. Ia dapat membakar tembikar pada suhu tinggi berkisar antara 1000 hingga 1300 derajat Celcius.
Kreasin Saeki berfokus pada glasir alami yang dihasilkan dari abu pinus merah. Dalam proses pembakaran Anagama, sekitar 15,000 batang kayu bakar dari pinus merah Jepang digunakan sekaligus. Walaupun harga pinus merah relatif mahal, kadar minyaknya yang tinggi dapat meningkatkan suhu tungku pembakaran secara efektif. Selain itu, karena sebagian besar terbakar habis dan menghasilkan abu dalam jumlah besar, Saeki dan pengrajin lainnya bergiliran memantau api tanpa tidur. Satu kali dalam setahun setiap bulan Maret, Saeki membakar ratusan keping tembikar di tempat pembakaran Anagama.
Saeki menggarisbawahi pentingnya pengalaman dalam pembakaran di Anagama, dan mengakui bahwa setiap hasil sangat bervariasi. Mengontrol setiap aspek seperti suhu dan kondisi oksigen di dalam tanur merupakan suatu tantangan. Dengan akumulasi pengalaman, perubahan iklim dapat diantisipasi. Namun, hanya sekitar 30% dari tembikar yang diproduksi di tempat pembakaran dapat digunakan, sedangkan sisanya tidak layak dijual karena rusak atau tidak sempurna.
“Kami sangat tersanjung bisa diundang dan hadir ke workshop yang hanya dilakukan satu kali dalam setahun ini. Kami akan turut mendukung pelestarian Pembakaran Tembikar Anagama dengan mempromosikan hasil karya Saeki-san di toko kami,” papar Daiki Tanaka, CEO D:matcha Kyoto yang diwawancarai secara daring oleh OZIP.
OZIP pernah berkesempatan menjajaki D:matcha Kyoto, sebuah perusahaan teh hijau asal Wazuka-cho, Prefektur Kyoto. Beberapa upaya yang dilakukan tim Tanaka dalam melestarikan budaya Jepang adalah dengan mengakuisisi lahan pertanian dan rumah-rumah yang terabaikan di Yubune, dan mengubahnya menjadi kawasan wisata lokal berkelas internasional yang menghadirkan turis mancanegara.
Mari dukung Saeki dan Tanaka dalam merawat budaya Jepang. Mahakarya mereka bisa dibeli di dmatcha.com dengan gratis ongkir untuk mancanegara. Selain itu, video pendek yang memuat proses pembuatan tembikar Saeki bisa ditonton di YouTube channel d:matcha Kyoto.
Teks dan foto: Siti Mahdaria