Selembar sejarah Australia dan Indonesia kembali terkuak dalam pameran dalam Immigration Museum bernama When Merdeka Came to Australia pada hari Jumat (27/5) hingga Minggu (29/5). Diselenggarakan oleh Indonesia Diaspora Network Victoria, pameran ini menceritakan rasa tenggang rasa antara warga Australia dan diaspora Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Sebagai latar belakang, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda menolak untuk mengakui kemerdekaan Indonesia, ditandai dengan usaha untuk kembali menduduki Indonesia pada tahun 1945-1950. Salah satu usaha tersebut adalah memberangkatkan kapal-kapal berisi amunisi dan persenjataan dari berbagai pelabuhan di Australia seperti di Brisbane, Melbourne, Adelaide, dan Sydney.
Menanggapi tindakan dari Belanda, para pekerja pelabuhan Indonesia di Sydney mengadakan aksi mogok kerja di kapal berbendera Belanda atau kapal yang disewa Belanda. Aksi para pekerja Indonesia mendapatkan simpati dari berbagai figur Australia, seperti sekretaris Waterside Workers’ Federation of Australia Jim Healy dan perdana menteri Australia saat itu, Ben Chifley. Hasilnya, kapal-kapal Belanda yang berlabuh di Australia dilarang untuk berlayar.
Tidak hanya itu, aksi pekerja Indonesia juga mendapatkan dukungan dari pekerja pelabuhan Australia, India, dan China yang ikut “menahan” kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Selain itu, kapal-kapal Belanda dicat hitam untuk menandakan bahwa mereka kapal Belanda, dengan julukan “armada hitam” atau “Black Armada”. Akibat aksi mogok besar-besaran tersebut, pemerintah Indonesia mendapatkan waktu untuk menstabilkan sisi administratif pemerintahan dan menjaga kedaulatan Indonesia.
Pembukaan pameran pada hari Jumat (27/5) dihadiri oleh berbagai figur diaspora Indonesia, seperti Konsul Jenderal RI Kuncoro Giri Waseso dan Presiden IDN Victoria Diana Pratiwi yang memberikan kata sambutan. Tidak hanya itu, kata sambutan juga diberikan oleh General Manager Immigration Museum Rohini Kappadath, ahli sejarah sekaligus penggagas pameran Anthony Liem, Wakil Ketua Victoria Multicultural Commission Bwe Thay, dan kurator senior Australian National Maritime Museum Dr. Stephen Gapps.
Acara pembukaan pameran juga menampilkan berbagai penampilan budaya dari Indonesia, India, dan China. Bela Kusumah dan Sandra Long dari Jembatan Poetry Society juga hadir dalam penampilan deklamasi puisi menceritakan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sebagai bagian dari rangkaian acara, pembukaan pameran juga mengadakan screening film dokumenter Indonesia Calling karya sutradara Belanda Joris Ivens yang rilis tahun 1946. Film yang menceritakan peristiwa armada hitam tersebut diputar selama tiga hari jalannya pameran.
“Cuplikan sejarah seperti ini seringkali terlupakan tapi harus diperingati,” pungkas Rohini. “Pameran ini selaras dengan tujuan dari museum ini, yaitu orang yang terhubung lewat rasa kemanusiaan dan menerima perbedaan untuk masa depan yang lebih baik.”
Selain menceritakan kronologi peristiwa armada hitam, pameran Merdeka juga menceritakan sejarah hubungan diaspora Indonesia dan warga Australia, terutama pada tahun 1940-an. Salah satu cuplikan sejarah yang terungkap dalam pameran antara lain adalah diaspora Indonesia yang menjalin hubungan dengan warga Australia. Menariknya, salah satu keturunan diaspora Indonesia yang diceritakan dalam pameran hadir dalam acara pembukaan.
“Saya merasa bangga dan senang bisa berada di sini. Saya pun masih meresapi perasaan senang saya, melihat respon positif orang-orang Indonesia di sini,” kata Jason Walandouw yang merupakan cucu dari Jan Walandouw, salah satu diaspora Indonesia yang menikah dengan warga Australia. “Luar biasa rasanya bisa melihat apa yang Jan bisa lakukan untuk orang Indonesia [di pameran ini].”
Jan Walandouw dikaruniai oleh seorang anak bernama Greg sebelum Jan dideportasi oleh pemerintah Australia akibat White Australia Policy, memisahkan Jan dengan keturunan-keturunannya termasuk Jason. Jason yang membawa keluarganya ke acara pembukaan juga berkesempatan bertemu dengan sepupu-sepupunya yang berdarah Indonesia.
“Rencana saya adalah untuk mengunjungi Jakarta dan Manado tahun depan, salah satunya mengunjungi makam kakek saya,” kata Jason.
Teks dan foto: Jason Ngagianto