Padamu Jua, Opini Terbaru dari Nuim Khaiyath

Pada bulan Desember, Umat Nasrani – meski tidak seluruhnya – merayakan Natal yang dipercaya sebagai hari lahirnya Yesus Kristus. Para penganut aliran Gereja Orthodox di Rusia, Ukraina, Serbia, Yarusalem, Ethiopia dan sejumlah negara lain, merayakan Natal pada tanggal 7 Januari, sementara banyak Umat Nasrani di Skotlandia dikatakan lebih meriah menyambut Hogmanay (Tahun Baru 1 Januari) daripada Natal. Namun sentralitas dari semua perayaan itu, bagi yang merayakannya, bersangkut-paut dengan agama dan tentunya Ketuhanan.

Pada waktu kian banyak yang menganggap “Ketuhanan” sebagai suatu omong kosong (sebagaimana diyakini oleh mereka yang mengaku atheist), ada baiknya barangkali kalau kita mencoba memikirkan kembali tentang Ketuhanan.
Tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins (The God Delusion), Christopher Hitchens (God is Not Great – judul ini merupakan pelesetan oleh wartawan Inggris itu dari ungkapan dalam Islam “Allahu Akbar” – Maha Agung Allah – yang sayangnya bahkan di Indonesia pun sudah banyak kita jumpai di medsos pelesetan berbunyi “takebeer” – minum bir? – alias takbir yang maknanya pengagungan nama Ilahi – Allahu Akbar) pada hakikatnya hanyalah sekadar menggoreng kembali salah satu dalil dalam ajaran Komunisme/Marxisme yaitu “Religion is the opiate of the masses” alias “agama adalah candunya rakyat”. Mungkin yang dimaksudkan Karl Marx (khusus di masa lalu di Eropa) adalah dimanfaatkannya agama oleh kalangan elite untuk melestarikan penindasan mereka terhadap rakyat jelata. Mungkin.

Bagi yang beragama/ber-Tuhan, maka hidup ini sebenarnya adalah suatu perjalanan untuk kembali ke asalnya. Keyakinan ini merupakan salah satu sendi dari ajaran kalangan Tasawuf (Sufi).

Ada analisis mengenai karya penulis Paul Coelho, “The Alchemist”, yang mengangkat kembali kesimpulan “balik ke asal” ini. “Pergilah mengembara ke pelosok bumi, perhatikanlah, carilah kebenaran dan rahasia kehidupan – semua jalan akan mengantarkanmu ke tempat asal. Seakan kita ini bukan mengayunkan langkah ke ujung jalan, melainkan ke tempat asal mula langkah pertama diayunkan. Pada hakikatnya pergi itu adalah untuk kembali.”

Dalam Islam ada ayat berbunyi Inna lillahi wa inna ilayhi raji’uun. Ini merupakan penggalan dari ayat ke-156 dalam Surat Al Baqarah (II) dalam Al Qur’an, yang artinya secara keseluruhan: “(Yaitu) orang-orang yang apabila mereka ditimpa oleh suatu kesusahan, mereka berkata: Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali.”

Dalam Perjanjian Lama (Ayub 1:21) dikatakan: “(Berkata Ayub) “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”

Lalu di mana Tuhan? Dalam Islam dikatakan: “Dan Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada.” [QS. 57:4]. Begitulah dikisahkan tentang seorang kiai masyhur yang banyak sekali santrinya. Namun dia diketahui sangat sayang pada hanya salah seorang di antara mereka, hingga menimbulkan kecemburuan di kalangan para santri yang lain.

Menyadari hal ini sang kiai merasa harus cepat bertindak untuk menyelesaikan masalah, jangan diulur-ulur karena makin lama akan makin memperparah keadaan.

Sang kiai kemudian memanggil sepuluh orang santri terbaik, termasuk santri kesayangannya dan kepada masing-masing dari mereka sang kiai memberikan seekor ayam dengan pesan:

“Bawalah ayam ini ke tempat di mana kamu merasa tidak ada yang bisa melihat kamu dan sembelihlah dan kemudian bawalah bangkai ayam ini ke mari.”

Tidak berapa lama kemudian semua santri kembali dengan ayam yang sudah tersembelih kecuali santri kesayangan sang kiai yang ayamnya masih hidup.

“Bukankah amar yang kuberikan adalah agar kamu membawa ayam ini ke tempat di mana kamu rasa tidak ada yang dapat melihat kamu, lalu kamu sembelih ayam ini dan bawa kembali bangkainya ke sini? Kenapa ayam ini tidak kau sembelih?” hardik sang kiai.

Santri kesayangannya itu menjawab: “Ke mana pun aku pergi niscaya Allah akan melihatku…” (QS 57:4).

Jelas tidak semua orang percaya ada Tuhan – kaum Komunis, misalnya, umum dianggap sama sekali tidak ber-Tuhan. Lalu kenapa Bung Karno menciptakan NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme)? Padahal Indonesia adalah negara Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa? Mungkin pertimbangannya adalah politik. Sekiranya Bung Karno masih ada sekarang ini niscaya beliau harus berurusan dengan Kabareskrim Polri, sebagaimana Hisbut Tahrir Indonesia dibubarkan karena dianggap berlawanan dengan Pancaslia. NASAKOM jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila!

Suatu kali seorang Perempuan Sufi terkenal Rabi’ah al-Addawiyah dihampiri seorang lelaki yang mengaku punya seribu bukti untuk memastikan bahwa Tuhan itu ada.

Rabi’ah menjawab: “Tidak perlu seribu bukti! Cukup satu bukti saja – ketika engkau terjerumus kedalam sumur yang dalam di tengah gurun, kepada siapakah engkau meminta pertolongan?”

Dalam kisah Sufi, Rabi’ah dikenal sebagai orang yang ketika ditanya kenapa ia membawa timba berisi air dan obor yang menyala, menjelaskan: “Obor ini untuk menghanguskan surga sedangkan air ini untuk memadamkan api neraka, agar manusia beribadah kepada Tuhan bukan karena mengharapkan pahala (pamrih?) melainkan karena semata-mata cinta pada Tuhan”.

Menurut Brendan Purcell dalam bukunya From Big Bang to Big Mystery sejak puluhan ribu tahun silam manusia sudah percaya akan “hari kemudian”. Ini terbukti dari berbagai perkakas atau lambang-lambang atau benda-benda yang ditemukan terkubur bersama manusia kuno yang pada hemat para paleontropologis mengisyaratkan kepercayaan mereka pada “hari kemudian”.

Kalau begitu kasihan juga para atheist (komunis dan sejenisnya) karena mereka tidak punya perayaan yang bisa dinikmati karena keimanan. Paling banter 1 Mei dan 1 Januari. Itu pun hanya sekadar hura-hura tanpa makna yang berkekalan. Lalu kalau nanti ternyata ada Tuhan, bagaimana?

Paling tidak mereka yang ber-Tuhan tetap bisa mengharapkan suatu kehidupan berikutnya (semoga yang lebih baik), berkat amal ibadah yang dilakukan di dunia yang fana ini.

Tapi apakah ini yang dimaksudkan dengan kembali ke asal (walhasil balik asal)? Wallahu a’lam.
Raja Penyair Pujangga Baru, Tengku Amir Hamzah mengaku memang dalam kesuntukan hidupnya, ia kembali:

PADAMU JUA
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kendil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku

Bagi yang merayakannya, Merry Christmas and a Happy New Year.

Teks: Nuim Khaiyath
Foto Ilustrasi: Pixabay