Outdoor Festival Indonesia 2024

Acara puncak Festival Indonesia 2024, Outdoor Festival, diadakan pada hari Minggu (6/10/2024) bertempat di Argyle Square Carlton. Budaya Indonesia Timur menjadi tema utama Festival Indonesia tahun ini dengan sorotan pada daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua.

Acara yang menjadi sorotan dalam Outdoor Festival adalah flash mob dengan iringan lagu “Ikan Nae di Pante” asal Flores. Tidak lupa juga, flash mob dengan iringan lagu “Gemu Fa Mi Re” yang sudah sangat akrab di kalangan diaspora Indonesia di Melbourne, terutama mereka yang berasal dari Indonesia Timur. Bedanya dengan tahun lalu, kedua flash mob ini tidak mengincar pemecahan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI). 

Selain itu, ada juga penampilan budaya Indonesia lainnya seperti Tari Pasambahan dan Tari Rantak dari Minangkabau, serta Tari Pia Toraya persembahan Sanggar Lestari. Tidak lupa, ada penampilan pencak silat, Orkes Jawi Waton Muni (OJWM), Aneka Ria Melbourne, dan Kawanua Melbourne.

Dr. Celyanda Goeltom selaku Ketua Panitia Festival Indonesia mengungkapkan tiga alasan budaya Indonesia Timur menjadi perhatian utama pada tahun ini: kurangnya promosi pada budaya Indonesia timur, letak daerah Indonesia Timur yang sangat dekat dengan Australia, serta sejarah hubungan antara penduduk Maluku dengan First Nations Australia. “Jadi logical saja, kalu kita sekarang mulai promosiin dari east, begitu.”

Bersamaan dengan tema Indonesia Timur tersebut, Festival Indonesia tahun ini mengundang sejumlah seniman asal Indonesia Timur, antara lain Nogei dan Presiden Tidore. “Tahun ini, Nogei dibantu oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dibantu oleh pemerintah daerah Papua sendiri,” ujar Dr. Cely.

Terkait flash mob tahun ini yang tidak mengincar pemecahan rekor MURI, Dr. Cely mengungkapkan popularitas lagu sebagai alasan utama. Selain itu, biaya pendaftaran ke MURI juga menjadi pertimbangan tidak adanya pemecahan rekor pada tahun ini.

“Karena ini ‘Ikan Nae di Pante’ belum menjadi tarian nomor satu di NTT, tarian nomor satu-nya Maumere (Gemu Fa Mi Re),” jelas Dr. Cely.

Dr. Cely melanjutkan, “Kita harus mendaftar dan menyatakan program kita, lalu kita harus buktikan bahwa program itu memang ada dan memang dikerjakan dengan bukti tertulis serta bukti dari video.”

Festival Indonesia tidak akan terlaksana berkat kontribusi para relawan/volunteer yang bekerja di balik layar acara; hal ini juga tidak luput dari perhatian Dr. Cely. “Saya sebenarnya berterima kasih sekali sama volunteer. Tanpa volunteer, ini gak akan jalan.”

Selain itu, Dr. Cely juga menyatakan apresiasi bagi komunitas diaspora yang terlibat dalam Festival Indonesia. “Kali ini banyak community organization yang ikut, yang bukan hanya membuka stall, tapi membantu duduk di dalam kepanitiaan,” ujarnya. Adapun pihak lain yang membantu pelaksaan Festival Indonesia tahun ini antara lain Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Pusat Promosi Investasi Indonesia.

Dalam menuturkan apresiasi kepada para relawan, Dr. Cely juga menekankan bahwa mereka tidak dibayar untuk keikutsertaan mereka dalam Festival Indonesia. “Jadi semua itu hanyalah karena kecintaan kepada Indonesia. Bagi kita yang jauh di luar (Indonesia), perasaan cinta itu mungkin tidak mendalam, tapi emosional. Kalau saya, terutama itu.”

Pasalnya, kepanitiaan silih berganti karena kebanyakan volunteer berasal dari golongan mahasiswa yang berstatus non-resident. Oleh karena itu, Dr. Cely mengungkapkan banyak harus dipertimbangkan dalam menyusun kepengurusan Festival Indonesia untuk periode berikutnya, salah satunya jabatan ketua panitia.

“Kalau saya sih siap saja, yang mesti dipersiapkan adalah yang mau menggantikan… saya mengharapkan ada yang tunjuk tangan, begitu,” katanya. “Banyak sekali calon yang hebat, tapi masih agak sibuk, belom bisa commit penuh, begitu. Tapi memang in the pipeline sih, ada orang yang mau kita orbitin.”

Untuk edisi tahun depan, Dr. Cely menatap kemungkinan mengangkat budaya daerah yang belum pernah dipromosikan Festival Indonesia sebelumnya, seperti Kalimantan dan sejumlah budaya dari Sulawesi. Namun, Dr. Cely juga terbuka terhadap kemungkinan mengangkat budaya Indonesia Timur lagi.

“Karena kalau kita lihat, patchy banget promosi kita untuk daerah timur. Sedangkan daerah timur itu kaya, begitu,” ujar Dr. Cely. “Kenapa enggak? Jadi kalau saya (mempromosikan budaya) timur lagi juga gak apa-apa.”  

Teks: Jason Ngagianto

Foto: Adista Nuratika & Festival Indonesia