Memerdekakan Diri Sendiri

“The Republic of Indonesia is not owned by a group, does not belong to a religion, not owned by a tribe, not owned by a custom class, but it belongs to all of us from Sabang to Merauke!” (Soekarno, 1955)

 17 Agustus 1945 adalah tonggak penting sejarah bangsa Indonesia. Sebenarnya, itu hanyalah satu dari beberapa momen historis yang fundamental. Sebuah jembatan emas yang menjadi momen besar yang terukir dengan darah dan air mata. Yang jauh lebih besar dan lebih penting adalah apa yang diperbuat secara kolektif setelah melewatinya. Merayakan HUT RI ke-69 ini, saya ingin mengelaborasi sejumlah pemikiran dan pidato Soekarno, presiden Indonesia yang pertama.

 

Setelah proklamasi 1945, bangsa ini masih dihadapkan pada setidaknya dua pilihan sulit: “Dunia yang sama rata sama rasa atau dunia yang sama ratap sama tangis!”

 

Setiap tahun kita merawat ingatan atas kemerdekaan itu dengan mengadakan upacara seremonial. Wajar dan tak ada yang salah. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah apa yang telah kita raih dan kerjakan bersama sebagai sebuah bangsa. Penjajah asing memang telah pergi, namun bukan berarti perjuangan telah selesai. Tugas paska kemerdekaan adalah memerdekakan diri sendiri dan melawan ketidakadilan serta ‘penjajahan’ dari bangsa sendiri. Hal ini jauh lebih susah dan masih berlangsung sampai sekarang.

 

Memang, tak dipungkiri, banyak hal yang telah kita capai, termasuk demokrasi yang semakin hari kian kokoh dan solid. Namun, kondisi kita sekarang sedikit banyak masih dalam kondisi pancaroba, “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup dimasa pancaroba. Jadi tetaplah bersemangat elang rajawali!”.

 

Sebagai diaspora Indonesia di Australia, kemerdekaan Indonesia bisa dirayakan setiap hari, tanpa harus menunggu bulan Agustus. Lewat PPIA misalnya, dengan promosi budaya nasional dan mengajarkan bahasa Indonesia ke warga negara Australia.

 

Saya membayangkan Indonesia ke depan adalah sebuah negara yang secara penuh mengejawantahkan makna kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kemerdekaan yang sekedar label, yang normatif, bukan juga sebatas seremonial, tapi kemerdekaan yang substantif.  Sejujurnya, secara substantif kita belum bisa dianggap merdeka. Bangsa ini masih dibelenggu penjajahan akibat mentalitas elite dan non-elite yang rapuh serta “sakit”. Merdeka secara substantif dalam konteks ini bisa berarti “merdeka” secara intelektual dan mental.

 

Merdeka intelektual bisa diwujudkan dengan tak adanya kriminalisisi dalam mengemukakan opini dan gagasan ke ruang publik, betapa pun berbedanya dengan pendapat mainstream. Warga negara dengan bebas berhak untuk memeluk yang diyakini, tanpa paksaan dan tanpa serangan kelompok lain ketika beribadah. Juga menguatnya peran negara yang melindungi semua tanpa membedakan latar belakang dan bukan majority-ruled.

 

Merdeka mental bisa berwujud dengan adanya kepercayaan diri bahwa asing dan lokal adalah setara. Tak ada lagi supremasi asing. Semua bangga dengan produk dalam negeri. Tidak lagi sikap memandang rendah bangsa sendiri dan lunturnya mental feodalisme. Merdeka secara mental ini bisa dimulai dari lingkup sekolah dan universitas, yakni dengan memberi peserta didik ‘pendidikan yang membebaskan’. Merdeka mental juga berarti merdeka secara budaya, semisal dengan bangga berbahasa Indonesia dan menempatkan bahasa asing secara kontekstual. Juga dengan bangga dengan pakaian khas Indonesia, kuliner lokal dan lainnya. Hal ini tak lain karena “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.”

 

Tentunya, dan yang paling penting, semua itu bisa diwujudkan dengan mulai “memerdekakan diri sendiri”. Juga dengan menjadikan diri sendiri pahlawan bagi lingkungan sekitar, pahlawan dalam arti yang menghidupkan, bukan pahlawan yang lekat dengan makna nisan, masa lalu dan kematian. Pahlawan yang berjuang dengan tujuan memupuk semangat bangsa dalam bidang ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, kesenian dan budaya.

 

Pada akhirnya, kita harus ingat dan sadar diri bahwa, “Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali ! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia!”.

 

 

sohib-2Shohib Essir

Ketua PPIA Australian Capital Territory 2014-2015