Topik tentang etnis Tionghoa di Indonesia selalu hangat dibahas. Ketika bicara tentang Tionghoa di Indonesia, kita tak hanya bicara soal etnisitas dan budaya, namun spektrumnya lebih luas dari itu. Hal inilah yang menjadi alasan kuat bagi Herb Feith Centre (HFC) di Monash University menyelenggarakan konferensi bertajuk “Chinese Indonesians: Identities and Histories”.
Konferensi yang akan dihelat tanggal 1-3 Oktober 2019 mendatang ini akan menghadirkan
Dr Karen Strassler (Queens College and CUNY Graduate Center, USA) dan Dr Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) sebagai keynote speaker. Para akademisi dipersilakan mengirimkan makalah yang bertujuan menjawab empat pertanyaan besar seputar etnis Tionghoa di Indonesia, yaitu 1) keterkaitan antara pemahaman mengenai ras dan etnisitas dengan pembangunan dan pembentukan identitas politik baik di Indonesia maupun secara global; 2) perubahan yang terjadi dalam politik rasial di Indonesia sejak jatuhnya Orde Baru; 3) tren baru dalam kajian Tionghoa-Indonesia; dan 4) temuan-temuan baru dalam area studi ini.
Konferensi ini tidak membatasi hanya pada empat topik besar tersebut. Alih-alih, ia sekadar pintu untuk memasuki ruang-ruang diskusi yang lebih luas, “misalnya soal pembentukan identitas, sejarah, bahasa, ekonomi dan politik, hingga soal konstruksi sosial,” ujar Prof. Ariel Heryanto, Direktur HFC saat ditemui OZIP Kamis (29/3) lalu. Ia menyebutkan beberapa contoh rencana panel penyajian makalah yang sedang dipersiapkan calon peserta, seperti “seksualitas di kalangan etnis Tionghoa”, “Muslim Tionghoa di Indonesia”, “Seni visual dan ketionghoaan”, “Bahasa Melayu Tionghoa dalam novel”, dan sebagainya.
Berbeda dengan konferensi pada umumnya, Herb Feith Centre bercita-cita agar konferensi kali ini tak cuma mempertemukan para akademisi yang memiliki ketertarikan dan keahlian dalam topik-topik riset yang berkaitan dengan Tionghoa. “Konferensi ini juga akan menjadi ajang berkumpul bagi siapapun yang tertarik dengan masalah ketionghoaan, tidak peduli apa latar belakangnya dan apakah ia akademisi atau bukan,” tambah Prof. Ariel. Karena itulah, selain menghadirkan panel-panel yang membahas Paper Presentations hasil riset tentang etnis Tionghoa, konferensi ini juga mengundang individu atau kelompok untuk terlibat dalam Roundtable Discussions dan Exhibition.
Roundtable Discussion akan menghadirkan topik-topik diskusi yang diusulkan langsung oleh peserta. Sementara, Exhibition akan menampilkan karya seni serta pertunjukan musik dan tari pameran foto tentang Tionghoa, juga pameran koleksi perpustakaan Monash University yang berkaitan tentang etnis tersebut. “Bahkan, akan ada demo memasak Chinese food juga,” ujar Anita Dewi, librarian sekaligus Research and Learning Adviser di Monash University Library yang akan bertanggung jawab pada penyelenggaraan kegiatan Exhibition.
Dr Jemma Purdey, Research Fellow di Faculty of Arts Monash University yang menjadi ¬Co-Coveners konferensi ini bersama Prof. Ariel menekankan sisi inklusivitas Exhibition ini. “Siapapun bisa terlibat dalam konferensi ini, dan kami cukup percaya diri kami dapat mengundang banyak orang untuk hadir,” ujarnya. Prof. Ariel mendukung pernyataan ini, “keynote speaker-nya saja bukan orang Tionghoa,” selorohnya.
Panitia konferensi mendorong munculnya topik diskusi yang lebih variatif. Selama ini, kita terlalu sering mendengar sesuatu yang sangat negatif maupun positif tentang etnis Tionghoa. “Konferensi diharapkan memunculkan suara-suara yang berbeda, misalnya masalah hiper-nasionalisme yang melanda bangsa kita. Selama ini kita memuja etnis Tionghoa Indonesia yang – misalnya – menang di kejuaraan bulutangkis, membawa nama Indonesia. Lalu kita ingin tahu, apakah bisa seorang Tionghoa-Indonesia disebut sebagai warga negara yang baik tanpa harus menjadi nasionalis?” ujar Prof. Ariel lagi.
Bagi Anda yang tertarik untuk mempresentasikan hasil penelitian, mengusulkan topik untuk Roundtable Discussion, maupun mendaftarkan materi untuk Exhibition, Anda masih punya waktu hingga 15 Mei 2019. Sementara itu, pendaftaran untuk menjadi peserta konferensi kategori Early Birds dibuka hingga 30 Juni. Info lengkap bisa Anda dapatkan di website resmi konferensi: https://cvent.me/4951w.
Teks: Pratiwi Utami
Foto: Pratiwi Utami, Yacinta Kurniasih