Mengupas Lebih Dalam Inspirasi di Balik Pemutaran Film “Santet” di Australia

Ketika berbicara tentang legenda dan cerita mistis, sulit rasanya jika tidak mengukit legenda dan kisah-kisah mistis yang banyak tersebar di kalangan masyarakat Indonesia. Mulai dari legenda Tangkuban Perahu, Kwah Sikidang Dieng dan Manusia Harimau Cindaku hingga cerita rakyat seperti Malin Kundang, Jaka Tarub dan Keong Mas, semuanya mengambil inspirasi dari kisah-kisah mistis dan pengalaman-pengalaman tersendiri akan peristiwa-peristiwa misterius yang terjadi di seluruh pelosok negara Indonesia. Namun, tidak semua peristiwa-peristiwa tersebut merupakan legenda belaka. Di tengah kekayaan budaya Indonesia yang penuh warna dan ragam, ada pula sebahagian kecil warisan budaya yang sifatnya teramat mistis dan sakral. Salah satunya termasuk kebudayaan yang menyangkut praktik santet.

Praktik santet yang penuh dengan misteri ini pun dikupas lebih dalam melalui pemutaran film yang berjudul “Santet” di bioskop HOYTS di Chadstone Shopping Centre pada tanggal 25 Mei 2019 pukul 13:00 siang. Sebelum tibanya hari pemutaran, sutradara film “Santet”, Helfi Kardit, bercerita tentang inspirasi yang mendorong dirinya memproduksi film tersebut. Dia mengatakan bahwa praktik santet memiliki banyak kemiripan dengan praktik voodoo yang banyak dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Karibia dan warga-warga Amerika Serikat Selatan. Ia selalu merasa tertarik bahwa setiap suku memiliki cara yang berbeda dalam melakukan praktik santet namun setiap upaya santet hamper selalu berhasil tanpa memandang praktik manapun. Tentu saja praktik santet tidak selalu berkaitan dengan kutukan maupun gangguan, terkadang santet dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan menangkal upaya santet dari orang lain. Hal-hal inilah yang mendorong dirinya untuk memproduksi film “Santet” agar masyarakat Indonesia dan luar negeri senantiasa lebih banyak tahu tentang praktik yang keramat dan mistis ini.

Ketika ditanya mengenai tantangan yang dihadapi ketika memutuskan untuk memutar film “Santet” di Melbourne, Helfi bercerita bahwa banyak diantara para pegiat film Melbourne yang masih tidak sepenuhnya percaya dengan praktik santet. Alhasil, dirinya pun mencoba meyakinkan mereka tentang banyaknya praktik-praktik keramat dan keagamaan di Indonesia. Pratik santet sendiri pun termasuk salah satu dari banyak praktik keramat yang diwariskan oleh budaya dan sejarah bangsa. Bahkan sejarah sendiri bercerita tentang kuatnya kepercayaan dan ketakutan masyarakat Indonesia terhadap santet melalui peristiwa Pembantaian Banyuwangi 1998. Walaupun sulit dipercaya, santet merupakan bagian dari budaya Indonesia yang akan selalu hidup di benak masyarakat.

Secara teknikal, beberapa kesulitan yang dihadapi selama proses pembuatan film mencakup proses visualisasi santet. Membuat sebuah praktik santet tampak nyata dan mistis menjadi tantangan yang besar dalam produksi dan editan video. Hampir 40% dari proses perekaman film dilakukan di India dan Thailand guna menambah kesan keramat filmnya. Meskipun demikian, film “Santet” sudah menggandeng kerjasama dari berbagai pihak bioskop dan media perfilman mancanegara. Beberapa dari bioskop ini termasuk bioskop Cathay di Singapura, IMAX di Kanada dan 4 Digital Media di Inggeris dan Amerika Serikat. Kini, tayangan film “Santet” resmi masuk ke Australia dengan digandeng oleh HOYTS.

Sembari beranjak dari tempat duduk, Helfi pun berkata bahwa karyanya tidak akan berhenti sampai disini. Saat ini, ia tengah memproduksi film berikutnya yang akan berbentuk sebuah dokumentari yang berjudul “Begal”. Oleh karena itu, jika Anda tidak sempat menonton pemutaran film “Santet”, pastikan agar Anda tidak melewatkan film selanjutnya.

Teks dan foto: Edward Tanoto