Peran penting etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia dibahas dalam webinar yang diadakan pada hari Jumat (23/10/2020). Bertemakan “Nasionalisme dan Peran Tionghoa”, webinar tersebut merupakan sebuah kolaborasi antara lembaga NKRI OZ dan Forum Masyarakat Indonesia di Australia (FMIA).
Diadakan via Zoom dan disiarkan melalui YouTube, webinar ini merupakan kerjasama kali pertama untuk NKRI OZ dan FMIA. Meskipun sifatnya informatif dan edukatif, webinar ini juga berakar dari tumbuhnya pertanyaan mengenai nasionalisme warga negara keturunan Tionghoa di Indonesia. Berangkat dari pokok pikiran tersebut, webinar ini mengundang pendiri Museum Pusaka Peranakan Tionghoa Serpong, Azmi Abubakar; pengamat politik Indonesia Siauw Tiong Djin; direktur eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya; dan penasehat Lesbumi PCNU Depok, Nur Arif, sebagai pembicara utama.
Didirikannya Museum Pusaka Peranakan Tionghoa oleh Azmi memiliki tujuan menyampaikan sejarah Tionghoa di Indonesia ke berbagai elemen masyarakat, termasuk kepada etnis Tionghoa sendiri.
“Permasalahannya adalah tidak semua orang, bahkan intelektual sekalipun, mendapatkan akses informasi yang baik tentang jasa orang Tionghoa,” tutur pria asal Aceh ini. “Tidak adil rasanya sampai hari ini masih mempertanyakan nasionalitas orang Tionghoa.”
Dari sebab itu, Azmi memaparkan berbagai tokoh etnis Tionghoa yang berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Seperti misalnya Sie Kong Liong, pemilik gedung tempat diselenggarakannya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Selain itu juga ada Kwee Thiam Hong, salah satu dari lima pemuda Tionghoa yang hadir dalam Kongres Pemuda.
Tidak hanya tokoh, Azmi juga menguraikan organisasi Tionghoa yang memiliki peran penting dalam kemerdekaan Indonesia, antara lain media Indonesia milik Tionghoa bernama Sin Po, dikenal sebagai media yang pertama kali memuat lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lalu ada juga Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tahun 1932.
Peran penting organisasi Tionghoa ini diperdalam pembahasannya oleh pengamat politik Siauw Tiong Djin dalam sesi presentasinya. Siauw Tiong Djin yang merupakan anak dari wartawan aktivis Siauw Giok Tjhan tidak hanya menjelaskan tentang Sin Po dan PTI, tapi juga organisasi lain seperti Tionghoa Hwee Kwan dan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).
Bagi Tiong Djin, masih ada kekaburan tentang pengertian bangsa dan negara Indonesia. “Masih saja ada yang berbicara mengenai asli dan tidak asli dan kehadiran istilah pribumi dalam berbagai rumusan,” ujarnya. “[Padahal] dalam mendirikan bangsa Indonesia, tidak pernah disinggung masalah asli atau tidak aslinya seseorang dalam berpartisipasi membangun bangsa Indonesia.”
Tiong Djin menjelaskan, Tionghoa Hwee Kwan yang didirikan tahun 1900 merupakan sebuah organisasi sosial yang mengajak komunitas Tionghoa mengenal dan menghargai budaya Tionghoa. “Pendidikan di kalangan Tionghoa mendorong berkembangnya publikasi Tionghoa,” ujarnya, merujuk ke pembentukan media surat kabar Sin Po.
Sementara itu, Baperki sempat menjadi institusi pendidikan swasta terbesar di Indonesia sebelum akhirnya dibubarkan pasca G30S/PKI. Tiong Djin juga memaparkan, Baperki sebagai organisasi yang berjasa merumuskan istilah suku Tionghoa tahun 1958 sebagai sebuah usaha mempertahankan latar belakang etnisitas keturunan Tionghoa.
Rupanya, sejarah Tionghoa di Indonesia jauh melampaui perjuangan kemerdekaan. Seperti yang dijelaskan oleh Nur Arif, hubungan Indonesia dengan Tiongkok sudah ada bahkan sebelum VOC tiba di tanah air, lebih tepatnya sejak tahun 413. Kala itu, pendeta Buddha asal Tiongkok bernama Faxian (yang juga dikenal dengan Fa Hsien) tiba di tanah Jawa.
Sejak itu, silang budaya antara Tiongkok dan Indonesia terus terjadi, melibatkan berbagai kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya, Singosari, Kutai, dan Majapahit. Jejak budaya Tionghoa juga dapat terlihat di Indonesia masa kini, seperti misalnya motif batik Lasem yang terinspirasi dari migrasi Tionghoa ke Lasem, Jawa Tengah.
Berpindah dari latar sejarah ke situasi zaman sekarang, Yunarto Wijaya yang kerap disapa Toto ini menjelaskan asal stigma negatif terhadap warga keturunan Tionghoa yang berasal dari tafsir nasionalisme yang sempit. “Banyak yang menjiwainya dalam konteks [penduduk] asli melawan pendatang,” tuturnya.
Stigma inilah yang dianggap Toto membelokkan peran warga Tionghoa dalam kemerdekaan Indonesia. “Peran Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan dianggap sebagai oknum,” ujarnya. “Maka dari itu perlu ada upaya menulis ulang Tionghoa di Indonesia secara utuh, bukan [mengenai] hanya perjuangan masa lalu pas kemerdekaan [saja].”
Direktur Pelaksana Kebijakan dan Kemitraan Pembangunan Bank Dunia, Dr Mari Elka Pangestu, juga hadir dalam webinar tersebut. Beliau memberikan pernyataan melalui sebuah video singkat. “Kita [sebagai warga keturunan Tionghoa] sangat bisa berperan dimanapun kita berada,” tuturnya. “Walaupun kita adalah keturunan, kita adalah 100% orang Indonesia.”
Teks: Jason Ngagianto
Foto: Berbagai sumber