Mengenal Musik Karungut khas Kalimantan Tengah

Kamis (16/8) lalu, Sir Zelman Cowen School of Music, Monash University, menggelar Music Research Seminar bertajuk “The Messages in Karungut”. Acara yang dilaksanakan di gedung Graduate Hub Seminar Room ini menghadirkan Rayhan Sudrajat, mahasiswa Master by Research in Ethnomusicology Monash University asal Jawa Barat, Indonesia. Dalam seminar tersebut, Rayhan menjelaskan tentang Karungut, salah satu kesenian musik yang berasal dari Kalimantan Tengah kepada para akademisi di Australia.

 

Kesenian Karungut termasuk ke dalam sastra lisan karena bentuknya seperti pantun berima a-a-a-a dan dapat berupa lirik yang spontan maupun tidak. Seni Karungut dapat diiringi dengan permainan kecapi, suling balawung, rabab, gong, maupun gendang. Sedangkan untuk bahasa yang digunakan dalam kesenian ini adalah Bahasa Dayak Ngaju. Seorang pemain Karungut juga dikenal dengan sebutan pangarungut. Menurut Rayhan, hingga saat ini, pangarungut masih didominasi oleh kalangan orang tua dan masih sangat sedikit anak muda yang tertarik akan seni lisan ini. Padahal ada banyak sekali nilai-nilai kebajikan yang bisa disampaikan melalui kesenian ini, misalnya pesan pembangunan dan edukasi. Selain itu, Karungut juga dapat menjadi medium untuk bereskpresi. Dengan segala keunikannya, kesenian Karungut sendiri telah mendapat predikat sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Perkenalan awal Rayhan dengan kesenian Karungut bermula ketika ia traveling ke Kalimantan atas ajakan seorang temannya semasa kuliah. Perjalanan yang hanya selama beberapa hari itu menginspirasinya untuk mempelajari musik Karungut dan mengembangkan seni musik ini agar dikenal lebih luas. Ia kemudian berguru langsung dengan Syaer Sua yang merupakan maestro kesenian Karungut, juga membuat beberapa lagu menggunakan seni Karungut. Bersama band-nya di Bandung, ia memberikan sentuhan moderen pada kesenian tradisional ini. Rayhan mengaku, inovasinya ini sempat menuai pro-kontra dari masyarakat Kalimantan Tengah, apalagi ia sendiri bukan penduduk asli daerah tersebut. Namun, baginya ini merupakan cara untuk melestarikan sebuah kesenian daerah yang sarat akan nilai positif agar lebih bisa diterima banyak orang khususnya anak muda.

 

Teks dan foto: Destari Puspa Pertiwi