Text by Pingkan Palilingan
Photo by John Purba
Petikan senar sasando perlahan terdengar. Dentingan piano berbunyi lembut, seraya diiringi kicauan burung. Matahari terbit di atas panggung. Entahlah, kicauan tersebut mungkin hanya sugesti belaka. Mendengar lantunan ini rasanya seperti dibangunkan di pagi hari.
Demikianlah gambaran opening song dari acara From Dawn to Dusk (FDTD) 2 yang diselenggarakan tanggal 10 Agustus lalu. FDTD adalah pertunjukkan musik yang menampilkan kreasi paduan musik tradisional dan modern. Tahun ini adalah tahun kedua diselenggarakannya FDTD yang bertajuk Indonesian Music Adventure.
Layaknya pertunjukkan tahun lalu, FDTD 2 dibawakan oleh Indonesian Melbourne Music Network. Namun, kali ini FDTD memperkenalkan sejumlah penampilan dari beberapa music performers; seperti St. Francis Youth Choir, Paguyuban Pasundan Melbourne, Mahindra Bali, serta murid-murid angklung dari Loyola College.
Bertempatkan di Melbourne City Conference Centre (MCCC), FDTD 2 menampilkan 11 lagu. FDTD membawa penonton mengalami petualangan musikal dari bagian timur ke bagian barat Indonesia. Sejumlah daerah serta etnis yang diperkenalkan di dalam pertunjukan adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, Kalimantan, Sunda, Betawi, Aceh, serta Batak.
Acara dibuka dengan persembahan sebuah lagu dari St. Francis Youth Choir, yang kemudian dilanjutkan dengan permainan lagu berjudul Komodo Dragon. Komodo Dragon menceritakan tentang hewan endemik Pulau Komodo, NTT. Petikan Sasando yang dialunkan Ipank Lay, menyiratkan betapa elegannya hewan yang begitu kuat namun terancam punah ini.
Fitur spesial FDTD adalah kehadiran instrumen tradisional. Mulai dari alat musik yang cukup dikenal secara umum seperti gamelan, kecapi suling, angklung, kolintang; hingga alat musik yang kurang familiar yakni sasando, serunai dan erhu.
“Sasando memang original dari Nusa Tenggara Timur, tepatnya dari [Pulau] Rote,” ujar Ipank, yang mampu membuat hati penonton merasa damai melalui petikan sasandonya. Jika ada satu hal yang membuat penonton penasaran, itu adalah bagaimana bisa instrumen yang begitu besar dan berbentuk unik tersebut dibawa ke Melbourne? “Orang pada nanya, [tapi saya] bilang aja alat musik tradisional. Mereka [customs] kasih, sih,” katanya tersenyum.
Tak sia-sia usaha Ipank membawa instrumen kesayangannya ke Melbourne, karena kehadiran instrumen tradisional yang memberi bumbu bagi FDTD.
Yang membuat FDTD menjadi lebih unik lagi ialah perpaduan antara musik tradisional dan modern. Sebagai contoh adalah lagu Kidung Sunda yang dihiasi permainan kendang serta suling. Kehadiran kedua instrumen tersebut membuat lagu ini terasa kental dengan nada Sunda-nya. Hanya saja, berkat keterampilan musik dari komposer Randy Enos Hallatu, Kidung Sunda diwarnai dengan ritme jazz.
Yang paling memorable adalah lagu Aceh 2004 yang menceritakan kepedihan bencana tsunami yang membinasakan 170,000 jiwa. Alunan pelan piano ditemani pemutaran video yang menjadi saksi dari bencana tersebut mengundang kesunyian mencekam dari bangku penonton. Pada pertengahan lagu, terdengarlah lantunan serunai – instrumen musik asli Aceh – yang suaranya memilukan hati penonton.
Pertunjukkan tak sepenuhnya musik. Contohnya adalah BaVa Rhytm, yakni pertunjukkan ‘Rampak Kendang’ yang dibawakan Paguyuban Pasundan Melbourne. ‘Rampak Kendang’ adalah sebuah pertunjukkan dimana berbagai macam instrumen musik – khususnya instrumen khas Sunda – dimainkan untuk menciptakan harmoni ritmis. BaVa Rhytm dibawakan oleh tiga orang penabuh kendang yang menyisipkan humor di sepanjang penampilan tersebut. Penonton dibuat tertawa oleh ketiga pemain yang berusaha berbicara Bahasa Inggris dengan aksen Sunda kental. Di pertengahan pertunjukkan, muncul sesosok lelaki yang mempertontonkan jurus-jurus Pencak Silat diiringi tabuhan kendang.
Berbicara mengenai humor, pembicaraan tak bisa lepas dari Randy Enos Hallatu. Pria yang akrab dipanggil Enos ini, dengan piawai mewarnai pertunjukkan beberapa lagu dengan humornya. Enos adalah music director serta salah satu komposer dari lagu yang ditampilkan. Melalui humornya, Enos berhasil mengundang tawa penonton di akhir lagu. Ia juga mengajak penonton untuk bertepuk tangan sesuai dengan ritme lagu. Enos yang sudah 19 tahun malang melintang di dunia musik rindu agar masyarakat lebih menghargai musik.
“Mari kita lihat musik sebagai sesuatu yang bisa kita tekuni, sesuatu yang sebenarnya bisa kita kerjakan sebagai pekerjaan,” papar Enos yang cukup prihatin terhadap masyarakat yang seringkali merendahkan musik sebagai mata pencaharian. “Let us appreciate artists,” ujarnya. Menurut Enos, musik merupakan sebuah industri yang dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Layaknya pertunjukkan besar lainnya, Leon Sutedja, Project Manager, mengaku menemui tantangan besar dalam persiapan FDTD tahun ini. Tantangan tersebut yakni kesulitan mendapatkan human resource yang cukup. Berbeda dari tahun lalu, FDTD kali ini memiliki skala yang lebih besar; maka dari itu, membutuhkan SDM yang lebih lagi menurut Leon.
Akan tetapi, tantangan tersebut berhasil direngkuh. Penonton antusias menyambut lagu Would You Dance With Me? yang menutup FDTD. Enos mengajak penonton untuk menyanyikan melodi sederhana yang dicocokkan dengan ritme gamelan, kendang, tifa, serta instrumen modern seperti keyboard dan gitar. Konfeti ditembakkan. Penonton bersorak. FDTD telah selesai, namun lantunan melodi tersebut tetap bergema di hati penonton.