Dyota & Ella: Proud Poster Kids

Dyota Anindita (16) dan Ella Goedegebuur (18) adalah dua remaja Indonesia yang tidak hanya bangga akan ke-Indonesiaan mereka, tetapi juga secara aktif berperan untuk menunjukkan ke tetangga dan kawan dekat di Geelong bahwa Indonesia itu ‘indah, unik, kaya budaya, tidak hanya teroris, lebih dari sekedar Bali’.

Dyota, pelajar kelas 12 Sekolah Menengah Mattew Flinders di Geelong dan Ella, mahasiswa tahun pertama jurusan Keperawatan di Universitas Victoria, Melbourne berbincang dengan OZIP setelah Pako Festa tentang menjadi Indonesian youths di Australia, Pako Festa dan andil mereka mempresentasikan the ‘good and real’ sides of Indonesia di kampung halaman mereka di negeri Kanguru ini.

Ketika orang menyebut kata Indonesia, apa yang kalian pikirkan?

Ella: Saya adalah orang Indonesia. Kemudia budaya. Makanan lezat seperti rendang dan sate. Kunjungan tahunan keluarga kami ke kampung halaman mama saya di Sumatra Barat.

Dyota: Iya, budaya. Dancing, yang sudah saya tekuni sejak kelas 7. Keluarga saya orang Indonesia asli. Baju tradisional yang indah dan keren.

 

Jadi kalian bangga sebagai orang Indonesia?

Dyota: Tentu saja!

Ella: Sangat bangga.

 

Kalian terlihat keren banget di Parade Jalanan di Pako Festa baru-baru ini. Is it alright people call you both our Indonesian Poster Kids?

Ella: Hahaha. Terima kasih, Anda baik sekali. Saya pikir semua orang akan terlihat keren dengan baju tradisional Indonesia. Saya pribadi bangga sekali berkesempatan mewakili Indonesia di Pako dan rasanya senang bisa mengenalkan tentang sisi baik Indonesia ke khalayak Geelong dan menjadi ‘wajah positif’ bagi Indonesia di Australia. Pako Festa adalah salah satu moment kebanggaan saya.

Dyota: Kami sering bercanda tentang menjadi Poster Kids, kami tidak tersinggung sama sekali. Sama seperti Ella, saya senang bisa menunjukkan sisi positif and educate close friends and neighbors tentang negara kita – bukan sekedar teroris, Islam fundamental, tak hanya Bali dan persoalan-persoalan negara berkembang khas Indonesia. Kami tidak pernah malu tentang identitas kami sebagai minoritas dan ‘ethnic”. Saking bangganya jadi Indonesia, saya lebih merasa takut terlihat berlebihan dan show off.

 

Kesan tentang tinggal dan tumbuh sebagai Indonesia di Geelong, Australia?

Dyota: Ga ada masalah serius, tapi juga tidak selalu mudah karena Geelong, tempat keluarga saya tinggal saat ini, tidak terlalu multikultural (awalnya) di banding Melbourne misalnya. Saat SD saya selalu bawa nasi sebagai bekal makan siang dan teman-teman saya pikir itu aneh. Tapi makanan Indonesia adalah makanan sehari-hari di rumah. Sekarang siy makanan Asia sudah umum banget.

Ella: Sampai di SMU pun nasi masih tergolong aneh! Tapi saya suka cuek, nasi kan enak hehe. Dyota benar, tidak selalu mudah tumbuh di lingkungan dengan budaya yang berbeda. Buat saya, kadang it feels quite conflicting tumbuh di rumah yang sangat Indonesia dan di luar, sangat Australia. Ibu saya berusaha keras untuk mendidik saya dan tiga saudara perempuan saya dengan nilai-nilai Indonesia, dan saya juga tidak merasa hal itu adalah masalah. Tapi saat di luar rumah, tentu saja saya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan. Faktanya adalah saya orang Indonesia, saya juga orang Australia.

 

Dyota: Seperti Ella, ada masanya saya merasa terjebak di tengah dua budaya dan it’s hard for me to relate. Meskipun Indonesia asli, hampir seumur hidup saya habiskan di Australia (Ibu saya mengambil Phd di Universitas Melbourne saat saya berusia setahun dan lanjut tinggal di sini). Tapi untungnya, saya dan Ella adalah dua orang yang sangat sosial, jadi kami, tanpa bermaksud sombong, cukup berhasil dalam pergaulan sosial. Kalau ada yang mempertanyakan tentang pilihan hidup kami yang berbau Indonesia, kami jelaskan saja. Umumnya siy kalau teman dekat, mereka akan lebih terbuka dan mengerti. Teman terdekat saya berasal dari daerah pertanian, kulturnya sangat “putih”, tapi kami berteman baik dan saling memahami perbedaan budaya dan cara hidup masing-masing. Dia tahu kalau Ramadhan, saya harus berpuasa, dan menghormatinya.

 

Apakah punya Komunitas Indonesia membantu?

Ella: Tentu saja! Memiliki satu sama lain memudahkan kami menavigasi ‘culture shocks’, kami bisa bicara tentang hal-hal yang ‘conflicting’ antara di rumah dan di lingkungan sosial.

Dyota: Untungnya komunitas Indonesia di Geelong cukup solid, sering bertemu dan anak-anaknya tumbuh bersama. Saya, Ella dan teman-teman seumuran merasa punya teman senasib sepenanggungan.

 

Ok sekarang tentang Australia…what does it means to you?

Dyota: It’s home. I grow up here. I never feel I don’t belong here.

Ella: Same, it has been home for me and my family. Keluarga kami pindah dari Belanda saat saya berumur 4 tahun, Australia itu kampung halaman.

 

Kalau Melbourne?

Ella: Berarti kuliah hehe. Saya menyukai Melbourne karena lebih terbuka, a lot more accepting, banyak kebebasan dan mudah untuk menyatu dan tidak merasa terlalu berbeda.

Dyota: Saya suka banget Melbourne dan sering ke sana untuk nonton konser dan festival.