Diplomasi di Panggung Puisi – Diplomacy on the Poetry Stage

Urat Jagat - Veins of Universe-OZIP
Penampilan Godi Suwarna (kiri) dkk. dalam pentas Urat Jagat (Veins of Universe) di 4 kota.

Diplomasi di Panggung Puisi – Diplomacy on the Poetry Stage

 

Di jalan seueur mobil. Badé arangkat ka mana ari mobil?

Mobil badé arameng. Da ayeuna téh dinten Minggu.

 

Di jalan banyak mobil. Mau berangkat ke mana mobil itu?

Mobil mau bermain. Sebab sekarang hari Minggu.

 

There are lots of cars in the street. Where are they going?

Cars are cruising. Today is Sunday.

(Si Ujang Jalan-jalan/Cruising)

 


Hubungan Indonesia-Australia itu ibarat judul lagu, benci tapi rindu. Kedua negara tetangga ini selalu menjalani love and hate relationship. Berbagai isu dari yang remeh temeh hingga politik tingkat tinggi bisa meningkatkan tensi diplomasi. Uniknya, ketegangan itu selalu melibatkan warga, seperti yang terlihat dalam isu Bali Nine yang sedang menghangat akhir-akhir ini. Namun, upaya untuk saling memahami di antara warga Indonesia-Australia juga tak pernah berhenti, salah satunya melalui puisi.

 

Godi Suwarna & Jodee Mundy-OZIP
Godi Suwarna dan Mal Webb.

Itulah yang dilakukan oleh para penyair kedua negara yang memanggungkan Urat Jagat (Veins of the Universe), sekumpulan puisi berbahasa Sunda karya Godi Suwarna, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Safrina Noorman. Mereka tampil dan menggelar  workshop di empat kota: Bandung, Jakarta, Serang, dan Bali di bawah arahan sutradara Sandra Fiona Long, 14-15 Februari 2015.

 

Sandra tak sendirian datang dari Melbourne, ia membawa serta Mal Webb (musikus dan ahli vokal) dan Jodee Mundy (pemain teater). Sementara Godi kali ini tampil didukung oleh sejumlah pemain teater kawakan, Wawan Sofwan, Sahlan Bahuy, dan Heliana Sinaga. Di belakang panggung, Aji Sangiaji dan Deden Bulqini menata lampu dan multimedia. Penampilan mereka kali ini merupakan hasil produksi Mainteater Bandung dengan dukungan banyak pihak seperti Multicultural Art Victoria. Dua tahun sebelumnya, Urat Jagat tampil memukau di La Mama Theatre, Melbourne. Di panggung puisi, diplomasi dua negara terasa ringan dan kocak tetapi sarat dengan arti.

 

Urat Jagat adalah sekumpulan puisi terbaik karya Godi Suwarna yang memperdengarkan suara alam dan keindahan kata-kata dalam bahasa Sunda yang penuh irama, yang mengambarkan kegelisahan, kemarahan dan rasa sakit, tetapi penuh dengan humor. Godi adalah sastrawan Sunda paling penting saat ini. Ia meraih tiga hadiah sastra Rancage untuk puisi, cerita pendek, dan novel. Ia juga seorang pemain teater serta pembaca puisi yang piawai. Dalam pementasan kali ini tiga belas puisinya dibacakan, antara lain: Urat Jagat, Libanon, Grand Prix, Orkes Malayu; Jagat Alit,, Si Ujang Jalan-jalan, Studio Armagedon, dan Simpening Simpe.

 

“Bahasa Sunda mempunyai keunggulan pada lentong (intonasi) yang penuh ekspresi dan itu ternyata tak bisa dikejar oleh bahasa Inggris,” tutur Godi dengan bangga. Keteguhan pada bahasa Sunda ini pula yang menjadi keunggulan karya-karyanya dan telah membawanya berkeliling Australia dan Eropa.

 

Godi Suwarna & Mall Webb-OZIP
Godi Suwarna dan Jodee Mundy.

Urat Jagat ditampilkan secara bilingual. Sebuah tontotan yang masih jarang bagi publik Indonesia. Ketika Godi membacakannya dalam bahasa Sunda, penonton tentu sudah tidak asing lagi. Tapi saat Sandra, Jodee, dan Mal Webb membawakannya dalam versi bahasa Inggris, itu menjadi sajian yang unik. Saat tampil di Melbourne, ditambah dengan bahasa isyarat yang dibawakan oleh Jodee.

 

Pertunjukan Urat Jagat memadukan antara kekuatan kata-kata, olah tubuh para pemain dan dukungan visualisasi multimedia. Misalnya pada puisi berjudul Libanon, para aktor menampilkan aksi tembakan, burung-burung terbang, desau angin, dan suara bom. Ditambah latar gambar-gambar Lebanon di layar besar, suasana mencekam dan kehancuran kota itu terasa menyesakkan dada. Sementara pada puisi Orkes Malayu, ditampilkan gambar penyanyi dangdut dan para aktor beraksi seperti fans berat dangdut lengkap dengan goyangan dan teriakannya yang khas.

 

Di panggung puisi, seniman Indonesia memperkenalkan keindahan bahasa Sunda sebagai salah satu di antara ratusan bahasa daerah yang ada. Sementara seniman Australia coba memahami kekayaan budaya itu dalam bahasa Inggris. Dan saat kata-kata tak bisa menjembatani, bahasa tubuh menyatukan mereka. Puisi Godi pun menjadi cair dan mudah dicerna. Puisi, terbukti bisa menjadi alat diplomasi dan wahana untuk saling memahami.

Jadi, mari kita berpuisi.

Diplomacy on the Poetry Stage

Sandra, Godi, Jodee, & Mall-OZIP
Sandra Fiona Long, Godi Suwarna, Mal Webb dan Jodee Mundy.

 

 

 

The Indonesia-Australia relationship is like the title of a song, hate (you) but miss (you) (benci tapi rindu). These two neighbours have always had a love and hate relationship. Various issues from trivial to high level political diplomacy can increase diplomatic tension. Uniquely, the tension always involves citizens, as seen with the issue of the Bali Nine that has warmed up again recently. However, efforts to understand each other between Indonesian and Australia citizens have also never stopped, one way has been through poetry.

 

This has been achieved by the two countries through the poetry Urat Jagat (Veins of the Universe). The poems are a collection of Sundanese poems from Godi Suwarna, which have been translated into English by Safrina Noorman. They have performed and held workshops in four cities: Bandung, Jakarta, Serang and Bali under the guidance of director Sandra Fiona Long, February 14-15, 2015.

 

Sandra was not the only one to come from Melbourne, she brought along Mall Webb (musician and vocalist) and Jodee Mundy (theatre performer). Godi was also supported by a number of seasoned theatre performers, Wawan Sofwan, Sahlan Bahuy, and Heliana Sinaga. Backstage, Aji Sangiaji and Deden Bulqini arranged the lights and multimedia. Their performance this time was the result of the Mainteater Bandung along with the support of many parties such as Multicultural Arts Victoria. Two years earlier, Urat Jagat, looked amazing at La Mama Theatre, Melbourne. On the diplomacy stage, was light and funny, but laden with meaning.

 

Sahlan, Mall, Wawan, Sandra, Helina & Jodee-OZIP
Sahlan Bahuy, Jodee Mundy, Wawan Sofwan, Sandra Fiona Long, Helaina Sinaga & Mal Webb.

 

Urat Jagat is a collection of the best poetry works of Godi Suwarna as the project has the sounds of nature and the beauty of the Sundanese words in full rhythm, a portrait of anxiety, anger and pain, but full of humour. Godi is the most important Sundanese literary writer today. He has won three literary Rancage prizes for poetry, short stories, and novels. He is also a theatre performer and a skilled poet. At this performance, thirteen of his poems were recited, amongst others: Urat Jagat, Libanon, Grand Prix, Orkes Malayu; Jagat Alit, Si Ujang Jalan-jalan, Studio Armagedon, and Simpening Simpe.

 

“Sundanese has an emphasis on lentong (intonation) that is full of expression and cannot be easily understood in English,” Godi said proudly. His persistance in using Sundanese has also been one of the strengths of his work and has taken him around Australia and Europe.

 

Urat Jagat was performed bilingually. A spectacle that is still rare for the Indonesian public. As soon as Godi read in Sundanese, it certainly felt familiar to the audience. But, when Sandra, Jodee and Mal Webb read the English version, it became a unique spectacle. When performing in Melbourne, this coupled with sign language performed by Jodee.

 

The performance of Urat Jagat combines the power of words with the body of the players and the support of the multimedia visualization. For example, the poem entitled Lebanon (Libanon) the action featured action shots, flying birds, the rustle of wind and the sound of bombs. Plus background images of Lebanon on the big screen, the eerie atmospher and destruction of the city was smothering. While with the Malay Orchestra (Orkes Melayu) poetry, there was a display of dangdut singers and actors as well as the massive dangdut fans complete with the typical shaking and screaming.

 

On the poetry stage, Indonesians introduced the beauty of Sundanese as one among the hundred of existing regional languages. While Australian artists tried to understand the cultural complexities of the English language. And when words cannot bridge the gap, body language can unite them. Godi’s poetry is liquid and easy to digest. Poetry, has proved to be a tool for diplomacy and a vehicle for mutual understanding.

 

So, let’s make poetry.

 

Report by Pungkit Wijaya, translated by Tim Flicker

Photo by  Mega A Noviandari & Asep Supriatna