Tidak mustahil pandemi COVID-19 yang melanda dunia dan umat manusia ada juga hikmahnya. Barangkali salah satu di antaranya adalah kesadaran kita pada tangan dan betapa pentingnya alat tubuh yang satu atau dua ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam Wikipedia:
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan sering kali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk, gelas).
Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan binatang, ataupun cairan tubuh lain (seperti ingus, dan makanan/minuman yang terkontaminasi saat tidak dicuci dengan sabun dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang tidak sadar bahwa dirinya sedang ditularkan). PBB telah mencanangkan tanggal 15 Oktober sebagai Hari Mencuci Tangan dengan Sabun Sedunia. Ada 20 negara di dunia yang akan berpartisipasi aktif dalam hal ini, salah satu di antaranya adalah Indonesia.
Dengan munculnya COVID-19, maka kebiasaan manusia yang penuh dengan keakraban, kesopaan dan kebaikan, yakni bersalaman alias berjabatan tangan, harus ditunda dahulu.
Bagi umat Islam, mencuci tangan memang suatu kewajiban, paling tidak ketika berwudhu atau membasuh bagian-bagian tubuh sewaktu akan menunaikan shalat lima waktu. Ada pula riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW berpetuah agar setiap muslim mencuci tangannya ketika bangun dari tidur. Sebab sewaktu tidur kita tidak tahu sudah kemana tangan kita meraba.
Tanpa kita sadari bahwa peranan tangan pada hakikatnya begitu luar biasa. Selain untuk bersalaman, ketika berdoa memohon sesuatu dari Tuhan, kita mengangkat kedua belah tangan. Disamping tangan berfungsi untuk melakukan hampir segala pekerjaan, termasuk menyuapkan makanan ke dalam mulut, ada juga yang menggunakan tangannya untuk mencuri.
Selama pandemi COVID-19 kita begitu sering melihat di televisi bagaimana lincahnya para penerjemah sebagai narahubung untuk orang-orang dengan kesulitan pendengaran, guna menyampaikan segala pesan dan laporan dari pejabat-pejabat terkait, seperti menteri, perdana menteri, premier (menteri besar) dan pejabat-pejabat lainnya dengan jari dan tangan tentang hal-hal yang bersangkut-paut dengan COVID-19 kepada masyarakat.
Dalam peribahasa Indonesia banyak sekali kata tangan digunakan untuk menjelaskan sesuatu secara ringkas, padat dan langsung ke sasaran. Orang yang mengaku gagal atau tidak sanggup dikatakan “angkat tangan”. Namun tidak selamanya cuci tangan memiliki arti positif.
Orang yang menghindar dari sesuatu kewajiban yang semula ikut dipikulnya atau diusungnya bisa dituding “cuci tangan” alias melepas tanggung jawab (juga bisa disebut lepas tangan). Orang yang menjadi pendamping seseorang yang berkedudukan atau kaya raya disebut “tangan kanan” – kasihan mereka yang kidal.
Dalam tulisan ini kita akan melanglangbuana untuk menjenguk apakah dalam budaya-budaya lain juga banyak kata tangan yangt dijadikan peribahasa atau kiasan. Ternyata cukup banyak dan hampir semua budaya ada peribahasa tentang tangan.
Dalam budaya Kurdistan (ini adalah bangsa yang paling menyedihkan. Terdapat hampir 30 juta warga Kurdistan di dunia ini, namun mereka tidak memiliki negara sendiri, sedangkan Timor Leste yang penduduknya hanya sekitar 1 juta punya negara sendiri), dikenal pepatah: “Segala yang dilakukan secara tergesa-gesa niscaya ada tangan iblis di dalamnya.”. Orang Inggris sendiri memperingatkan “Haste makes waste”.
Dalam budaya Uganda di Afrika: “Tangan yang kosong hanya menyenangkan pemiliknya”.
Dalam budaya Yahudi (bahasa Yiddish) dikenal peribahasa: “Jika mata tidak melihatnya maka tangan tidak akan mengambilnya”.
Orang Indonesia memperingatkan, “Silap mata hilang duit”. Nampaknya peribahasa ini ingin meletakkan segala tanggungjawab pada mata.
Bangsa yang paling dizalimi sekarang ini, Palestina, juga punya peribahasa tentang tangan.
“Mata dapat melihat apa daya tangan tak sampai” atau Hasrat hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Jelas ini keluhan bangsa Palestina karena wilayahnya dicaplok bangsa lain.
Orang Cina memperingatkan: “Seorang pencuri punya lebih dari dua tangan”.
Di Afrika juga dikenal peribahasa, “Seseorang itu dinilai berdasarkan hasil karya tangannya”.
Namun dalam budaya India ternyata peranan atau fungsi tangan dinilai juga terbatas: “Tidak ada tangan yang dapat menangkap waktu”.
Bangsa Polandia sangat menilai tinggi peranan tangan, “Kalaulah bukan karena tangannya maka jam itu tidak ada gunanya”. Namun sekarang banyak jam tanpa jarum tangan.
Lain lagi dengan bangsa Ceko yang mengatakan, “Lidahnya panjang, tapi tangannya pendek”. Jelas ini sindiran pada orang yang banyak cakap kurang kerja.
Orang Rusia juga mirip dengan itu, “Tangan laksana emas, tapi mulut bejat”.
Kasihan orang Sudan yang mengeluhkan, “Tangan menderita karena harus dikerahkan untuk bekerja, tapi apa boleh buat mulut harus dikasih makan”.
Kembali kepada bangsa Yahudi, ada peribahasa yang menarik, “Pinjamkan telinga anda kepada siapa saja, berikan tangan anda kepada hanya sahabat, namun berikan bibir anda hanya kepada seorang perempuan”.
Dalam hal ungkapan “pinjamkan telinga anda” – ini terjemahan langsung dari bahasa Inggris – juga dinukilkan oleh pujangga Inggris William Shakespeare (mungkin pujangga terbesar umat manusia) dalam karyanya “Julius Caesar”.
Konon, ketika akan mengambil alih jenazah sang kaisar yang baru diasasinasi oleh sejumlah senator, dan sebelum memakamkannya, anak buah setia dari Julius Caesar, Marcus Antonius, ketika akan menyampaikan sepatah-dua kata kepada khalayak memulai sambutannya dengan kata-kata:
“Friends, Romans and country men, LEND me your ears”.
Maksudnya: para sahabat, warga Romawi dan saudara-saudara sebangsa dan setanah air “Pinjamilah saya telinga anda”. Dalam hal ini boleh jadi meminjam telinga seseorang dalam bahasa Inggris berarti “Dengarkanlah saya”.
Namun ada juga peribahasa yang cukup menarik yang dianggap sebagai ungkapan tradisional: “Sering-seringlah mencuci tangan, jarang-jaranglah mencuci kaki, namun jangan sekali-kali mencuci kepala”.
Ternyata orang India sangat tidak percaya pada pengacara/advokat, karenanya ada peribahasa dalam budaya mereka yang berbunyi “Tangan seorang pengacara/pokrol senantiasa berada dalam saku orang lain”.
Orang Australia punya guyonan seperti ini: “What is the difference between a liar and a lawyer? Only a difference in pronunciation”.
Orang Yunani punya peribahasa menarik tentang tangan: “Tangan yang satu menyuci tangan yang lain, dan kedua tangan menyuci muka”.
Orang Inggris mengingatkan, “Tangan yang banyak meringankan beban tugas” alias gotong royong atau “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Bangsa Persia/Iran mengingatkan: “Tangan yang memberi juga adalah tangan yang menerima”. Ibarat bersedekah, niscaya ada pahalanya.
Sebenarnya masih banyak lagi peribahasa dari berbagai budaya mengenai tangan, namun dalam tulisan kali ini, memadailah kalau kita mengakhirinya dengan mengingat: “Tangan menyencang, bahu memikul”. Ini adalah peringatan agar jangan sekali-kali melepaskan tanggungjawab alias cuci tangan atau lepas tangan. Wallahu a’lam.
Penulis: Nuim Khaiyath