Ingin menggugah rasa nostaljik komunitas Sunda dalam sebuah pagelaran drama musikal? Tema apa yang lebih jitu daripada Si Kabayan? Nah, memang tema itulah yang diangkat Paguyuban Pasundan Victoria pada penghujung November 2014, di Theatrette Clayton Community Centre. Dengan judul Kabayan Mencari Cinta, disusun dan digarap oleh penulis muda Fahd Pahdepie, terjalinlah kisah yang meliuk dan membentang dari desa Paguyuban, Kecamatan Pasundan (kira-kiranya dekat Tasikmalaya, Jawa Barat), sampai ke Universitas Monash, di Clayton, Melbourne.
Kabayan (Satianugraha “Cepi” Saefullah) kali ini saba (mengunjungi) Melbourne. Ceritanya berangkat dari rasa rindu Si Kabayan – guru mengaji extra-ordinaire- pada jantung hatinya Nyi Iteung ini, dengan terampil dibawakan oleh anggota-anggota Paguyuban. Saya benar-benar curiga mereka sebenarnya penjelmaan para aktor profesional yang diturunkan bersama Anak Jin (Arief Rahman), yang juga diperankan oleh seorang pegiat budaya dalam kelompok ini. Dialog mengalir lancar dan natural, meskipun setting virtualnya tidak pernah jelas, Anak Jin muncul ke alam ‘realita’ setelah secara bertahap mengumumkan dirinya via geledek, lalu gambar-gambar imaji yang sangat menggelikan, mempersiapkan penonton untuk menghadapi makhluk yang ujung-ujungnya tampil sangat ramah dan siap membantu ini. Segmen-segmen music pun mengalun masuk dalam konteks, sehingga tidak kaku dan terpisah dari cerita.
Yang lebih memincut hati para penonton ialah interaktifnya dialog dan musik dalam pagelaran ini. Beberapa tokoh dalam penonton malah ‘berada’ dalam cerita tanpa sepengetahuan mereka lebih dulu. Moga-moga “royaltinya” tidak lupa dibagi ke arah mereka.
Timbul pertanyaan, apakah Si Kabayan terlalu regional buat digelar di sebuah kota besar di Australia? Meskipun dialognya diselang-seling dengan lelucon Sunda yang sukar bukan kepalang untuk diterjemahkan, tokoh Si Kabayan sudah sangat tertanam dalam budaya nasional, sehingga komunitas Indonesia di Australia pada umumnya sudah mengenalnya. Saya sendiri yang bukan full-blooded Sunda ini saja tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut. Lalu yang non-Indonesia, bagaimana? Di sebelah saya duduk Amara Hamid, pejabat Multicultural Community City of Monash yang berasal dari Eritrea, yang saya lihat ikut tertawa geli. Dengan rasa bersalah, saya bertanya apakah dia mengerti dialog dan lirik lagunya? Dia menjawab, “Oh tidak, tapi semua pembawaan para aktor sangat lucu.”
Kabayan memang sudah dikenal secara nasional dan kini mulai mengglobal, setidaknya publik Melbourne mulai akrab dengan gaya kocaknya. Sosok yang terlihat naif tapi tiba-tiba bisa bergaya bijak itu memang berpotensi dapat diterima secara universal. Menurut bisik-bisik panitia, pagelaran SI Kabayan ini akan ada sekuelnya. Kita tunggu saja.
Dewi Anggraeni
Penulis senior