Menyambut datangnya Indonesian Film Festival ke-14 bulan April nanti, OZIP kali ini bicara tentang geliat film Indonesia di Australia. Tidak sedikit film Indonesia dibuat menggunakan lokasi di negara ini, lebih khusus lagi di Melbourne. Jumlah pegiat film Indonesia di kota ini juga tidak bisa dibilang sedikit. Bukan hanya yang bergerak di bidang produksi, di depan atau di balik layar, maupun yang berkutat di area promosi dan distribusi atau eksibisi film.
Sebelum jauh beranjak ke diskusi tentang industri perfilman, mari sejenak kita tengok salah harta karun seni pertunjukan (performing art) di Australia.
Bangunan itu bernama Princess Theatre. Diinisasi pertama kali di abad ke 18, Princess Theatre adalah pusat seni pertunjukan tertua di dataran Australia. Tahun 1854, saat industri pertambangan emas Australia sedang di puncak kejayaan, seorang pengusaha bernama Tom Moore mendirikan sebuah pusat seni dan hiburan bernama Astley’s Amphitheatre. Bangunan berbentuk lumbung padi raksasa itu memiliki satu arena pertunjukan berkuda dan satu panggung pertunjukan drama.
Astley’s Amphitheatre kemudian berpindah kepemilikan ke tangan seorang aktor bernama George Coppin. Pada tahun 1857, ia merenovasi bangunan tersebut secara besar-besaran, lalu membukanya kembali dengan nama Princess Theatre and Opera House. Sejak itu, teater tersebut tak berhenti beroperasi.
Sepanjang berdirinya, Princess Theatre yang berlokasi di 163 Spring Street, Melbourne ini terus direnovasi dan dibuka kembali dengan menampilkan pertunjukan-pertunjukan drama besar. Pembukaan ulang yang cukup terkenal terjadi tahun 1989. Tiga tahun sebelumnya, pengusaha properti David Marriner membeli Princess Theatre yang lagi-lagi mengalami perbaikan dan pemugaran. Akhirnya, tanggal 9 December 1989, teater tersebut kembali dibuka dengan penampilan drama Les Misérables dan The Phantom of The Opera.
Hingga kini, di bawah kepemilikan dan operasi Marriner Group, telah puluhan pertunjukan drama terkenal ditampilkan di Princess Theatre. Awal tahun 2019 lalu, Harry Potter and The Cursed Child ditampilkan di teater berkapasitas 1452 kursi ini. Princess Theatre adalah lokasi ketiga diputarnya pertunjukan drama tersebut, setelah London dan New York.
Teks: Pratiwi Utami
Foto: Windu Kuntoro, Devina Krismarina