Pesona Keanggunan Yogyakarta

Liburan kali ini kami memutuskan untuk pulang kampung. Saya menganggap pulang  kampung adalah perjalanan kembali ke “akar”. Tinggal selama hampir 2 tahun di Melbourne yang nyaman dengan warga yang multiculture, tidak membuat panggilan untuk menengok kampung halaman terhenti begitu saja.

Apalagi bagi anak-anak. Di sekolah mereka terpapar informasi-informasi  tentang Indonesia. Tentang obyek wisata dan budayanya terutama. Dulu saat mereka bersekolah di Indonesia, rasanya tidak terlalu excited untuk tahu lebih detail tentang obyek wisata, sejarah dan peninggalannya, nilai-nilai budaya Timur, dan sebagainya.

Kami menggunakan kesempatan liburan musim panas ini benar-benar untuk “kembali ke kampung”, kembali ke asal.

Sebenarnya tujuan utama kami adalah tujuan-tujuan yang klasik saja.  Sebut saja Candi Borobudur, Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Lava Tour di sekitar Gunung Merapi, mengunjungi pusat kerajinan batik, menikmati suasana Malioboro, dan tentu saja memperkenalkan kuliner khas Yogya kepada anak-anak.

Bedanya, kali ini kami (dan anak-anak) lebih siap dengan referensi dan catatan-catatan lebih dulu. Apa itu Borobudur, bagaimana sejarahnya? Apa yang menarik tentang Keraton dan kehidupan kerajaan di sana? Mengapa Taman Sari seolah Istana cantik yang sengaja disembunyikan di bawah tanah? Bagaimana situasi di sekitar Merapi saat erupsi terjadi? Dan masih banyak lagi.

Borobudur. Tetap berdiri anggun dan tegak. Megah. Buat kami itu adalah cerminan dan gambaran nyata kebesaran Tuhan Yang Maha Agung. Bagaimana kami menikmati setiap detail (sekalipun cuaca sedang sangat panas menyengat kala itu), membayangkan bagaimana proses merancang hingga membangun. Sudah pasti tidak ada alat-alat angkut dan alat bantu kerja secanggih sekarang.

Borobudur banyak perubahan. Tampak lebih teratur dan bersih. Lebih siap untuk  menyambut kunjungan turis-turis mancanegara. Informasi-informasi juga bisa kita dapatkan dengan mudah, dari buku saku ataupun dengan menggunakan Guide yang menguasai berbagai macam Bahasa asing. Hanya saja akses dari gerbang masuk ke Candi lumayan jauh. Untungnya ada “shuttle train”. Dengan merogoh kocek Rp. 15.000/orang, kita tidak perlu berjalan jauh menuju Candi. Sayangnya kereta itu hanya berjalan one-way. Pada saat pulang kami harus berjalan, dan sengaja dilewatkan di lorong panjang tempat pedagang-pedagang berjualan souvenir. Paham sih tujuannya untuk memudahkan turis mencari cenderamata, sekaligus meningkatkan penjualan dan pendapatan pedagang di sekitar. Hanya moga-moga saja ini tidak memberatkan bagi kaum manula atau penyandang cacat, mengingat jalan yang ditempuh cukup jauh (dan panas) sampai dengan kita mencapai  pintu keluar.

Beralih ke Keraton Yogyakarta. Tidak banyak perubahan. Sayang berkesan kurang terawat dan kurang bersih.  Debu-debu dibiarkan menempel di benda-benda antik bersejarah, pun begitu dengan lantai-lantainya. Biaya masuk ke Keraton memang tidak mahal, dan sebenarnya kalau dinaikkan demi meningkatkan kebersihan Keraton tidak akan menjadi masalah bagi wisatawan yang memang berniat untuk mengulik Keraton dengan suasana yang nyaman.

Saya pribadi selalu lebih suka suka Taman Sari, atau lengkapnya Istana Air Taman Sari. Istana yang sarat keindahan yang misterius. Lorong-lorong dan bangunannya menjadikan Taman Sari seolah punya rahasia abadi. Sejarahnya, Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) membangun keraton sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan Hamengku Buwono I membangun keraton sebagai sumbu imajiner yang membentang antara Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Titik yang menjadi acuan pembangunan keraton adalah umbul (mata air). Untuk menghormati jasa istri-istri Sultan, Beliau membangun istana di umbul yang teletak 500m di selatan keraton. Istana yang dikelilingi segaran (danau buatan) dan bunga-bunga wangi yang sengaja ditanam di pulau buatan, yang disebut dengan Taman Sari.

Di tempat tersebut terdapat beberapa tempat bersejarah lain seperti Sumur Gumuling dan Gedung Kenongo. Tetapi untuk menuju tempat itu Anda harus melewati Tajug (lorong). Lorong bawah tanah yang lebar ini memang untuk berjaga-jaga apabila keraton dalam keadaan genting (jalan darurat/rahasia). Ruang rahasiapun banyak tersembunyi di tempat ini. Yang pasti bangunan ini didesain sedemikian artistik dengan memiliki sisi akustik yang baik.

Pemandangan penuh pesona yang apik tersebut makin sempurna karena dipadukan dengan tembok-tembok bergaya campuran Eropa, Hindu, Jawa dan Cina yang menjadikan  Taman Sari tidak akan terlupakan.

Ingin perjalanan dan tujuan yang lebih seru? Coba saja Merapi Lava Tour. Tour dengan  menggunakan Jeep (atau bisa juga menggunakan  motor trail bila mau) adalah salah satu tujuan wisata di Yogyakarta yang paling digemari. Rute yang “eksotis”, melewati daerah bekas terkena dasyatnya erupsi Gunung Merapi di tahun 2010, begitu menggoda adrenaline. Dengan membayar biaya mulai dari Rp. 350.000 untuk 4 orang penumpang dewasa, dan lama perjalanan sekitar 2 jam, Lava Tour ini  bisa dipastikan akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Guide sekaligus pengemudi Jeep yang ramah, menjelaskan kepada kami tentang tempat-tempat yang mempunyai nilai histori khusus sehubungan dengan erupsi Gunung Merapi. Sebut saja Kali Kuning, Desa Petung, Batu Alien, makam massal korban Merapi, bungker tempat menyelamatkan diri, hingga hamparan material erupsi Merapi di Kaliadem. Tak lupa Museum “Sisa Hartaku” yang sesungguhnya merupakan rumah yang hancur terkena erupsi dan lahar panas. Namun benda-benda yang tertinggal masih dibiarkan sesuai saat erupsi terjadi. Motor, hewan ternak, radio, jam dinding, TV, perkakas dapur, hingga mainan anak-anak. Meninggalkan kesan miris dan sedih mengingat bagaimana perjuangan penduduk sekitar saat bencana menimpa mereka.

Oh ya, kunjungan ke Yogya tak afdol rasanya bila tidak mengunjungi pusat pengrajin batik Yogya, dan juga mencoba kuliner lokal seperti Mie Jawa, Gudeg, Wedang Ronde, Sate Klatak, dan sebagainya.

Intinya perjalanan kami di Yogyakarta selama 3 hari tidaklah cukup. Masih banyak tempat-tempat menarik yang wajib dikunjungi. Pantai-pantai indah di pesisir laut selatan seperti Pantai Sundak dan Pantai Indrayanti, wisata menelusuri gua sekaligus cave tubing di Gua Pindul Gunungkidul, menikmati Kalibaru yang  menyajikan pemandangan yang menakjubkan, hingga kembali  memahami akar dengan menyaksikan Sendratari Ramayana termegah di Asia dengan latar belakang Candi Prambanan.

Bagi kami, Yogya tidak pernah kehilangan pesona keanggunannya. Sekalipun bangunan-bangunan modern seperti  Mall dan Hotel bermunculan di sana sini, keorisinilan budaya dan suasana nyaman Yogyakarta tak akan tergantikan.

 

Text dan photo : Katrini Nathisarasia