Pernahkah kamu tertawa selama empat jam dan tidak merasa lelah? Itu seperti komputer yang mulai lelet lalu scan anti virus diaktifkan dan di-refresh. Kerja yang mulai bikin suntuk seketika jadi lancar, virus dan sampah dunia maya pun sirna. Begitulah suasana yang dirasakan penonton malam itu. Lega dan lapang, sekalipun “babak-belur” disindir nggak bisa cebok pakai air. Sungguh sayang jika pada Sabtu petang (16/8/’14) itu, kamu tidak bergabung dalam Pandawa: Pandangan Merdeka dalam Tawa di Melbourne City Conference Centre. Sajian dari PPIA Deakin dan PPIA Swinburne itu berhasil meledakkan tawa hampir sepanjang pertunjukan.
Pagelaran Pandawa dibuka dengan tarian Indonesiaku Satu dari sanggar DH Javanese Art dengan kostum garapan Ganda Marpaung. Tarian Sumatera, Betawi, Bali, Dayak, Makassar, dan Papua, disajikan secara medley. Lalu untuk mengingatkan kembali penonton akan makna kemerdekaan, tayangan video Indonesia Merdeka disajikan dalamkonsep stop motion. Peristiwa menarik seputar kemerdekaan ditayangkan dengan pesan, “Kemerdekaan bukan semata capaian yang diraih saat proklamasi dikumandangkan, tetapi harus terus diperjuangkan sampai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat diwujudkan.”
Duet MC Ernest Rafael dan Gilbert Silalahi yang ngocol, sangat pas mengantarkan acara yang disaksikan lebih dari 600 penonton itu. Di luar dugaan, penampilan pemenang lomba Stand Up Commedy Fenaldi Dimas dan Reynaldi Cahyo Baskoro, sangat menyegarkan. Terutama Reynaldi yang bisa melucu secara terstruktur. Dengan runtut ia menjelaskan perkembangan setiap dekade pembangunan Indonesia setelah kemerdekaan. Jika mendapat kesempatan yang luas untuk mengasah jam terbang, Reyanaldi akan jadi pemain stand up yang diperhitungkan.
Sebelum bintang utama Panji Pragiwaksono tampil, komedian Krisna Reva menghangatkan panggung dengan cerita-cerita lucunya. Dan, saat Panji mulai beraksi, tertawa berjamaah pun terus menerus berlangsung hingga acara ditutup lewat dari jam 10 malam. Membawakan tema Mesakke Bangsaku (Kasihan Bangsaku), Panji menyadarkan penonton akan nasib minoritas di Indonesia, baik karena alasan kesehatan, pekerjaan, ataupun agama. Ia sajikan dalam data dan angka yang akurat berdasarkan riset. Komedian yang tengah keliling 10 negara di empat benua itu memang piawai merangkai kata dan dengan tepat membidik urat tawa penonton. Inilah mungkin yang disebut belajar sambil tertawa dan tertawa sambil belajar.
“Melihat stand up commedy yang pas memang harus langsung,” ujar Panji sehari sebelum acara. “Kalau di TV atau Youtube, itu sudah banyak editing, jadi nggak terasa suasananya.”
Panji memang benar. Buktinya penonton malam itu larut dalam tawa, terbawa suasana kocak yang disajikannya. Dan mereka pulang membawa kesan, masih banyak kelomok minorotas di Indonesia yang memerlukan perhatian dari semua pihak, terutama dari penyelenggara negara.
Salut untuk semua tim di balik sajian Pandawa. Acara semacam ini sangat layak direkomendasikan untuk jadi tradisi. Tentu saja dengan kemasan dan sajian yang lebih ciamik lagi.
Tim Ozip